Bagian dua puluh tujuh

953 92 3
                                    

Pra-Move On!

.

Mentari mengelap mulutnya dengan tisu di depannya. Makan malam telah usai. Kini mereka hanya tinggal menunggu waktu sholat isya. Seperti biasa, setelah makan malam, keluarga kecil itu akan berbincang-bincang ringan sembari menunggu waktu isya tiba. Tapi kali ini pada meja makan yang terletak di tengah-tengah dapur itu hanya tersisa dua perempuan yang memiliki garis wajah yang sedikit mirip. Mentari dan Ibu Fatma, uminya. Sementara Pak Henis memilih untuk pergi ke masjid setelah makan tadi.

"Tar, Umi mau kasih tahu kamu sesuatu," ujar wanita yang duduk di depannya itu.

Mentari menatap uminya dengan kening berkerut. "Ada apa, Mi?" tanyanya.

Ibu Fatma sedikit memajukan kursi yang ia duduki. Sebelum mulai mengeluarkan suaranya lagi, ia memperbaiki tatanan jilbab abayanya. "Mmm ... tadi sore ada yang dateng," mulainya.

"Siapa? Mau ngapain?" berondong Mentari.

"Seorang pria, dia datang untuk mengkhitbah kamu."

Mentari terdiam. Sedikit gugup, ia meraih segelas air di depannya. "Namanya siapa, Mi? Aku kenal dia kan?"

Uminya mengangguk membenarkan. "Dia Difan, Tar."

Sontak saja gadis itu membelalakkan matanya. Gelas di tangannya ia taruh dengan sedikit kasar, refleks. Matanya bahkan kini membulat, saking tak percaya atas apa yang baru saja uminya katakan.

"Dan abi ...."

"Abi kenapa, Mi? Abi menolaknya 'kan?" cecar Mentari yang kini tangannya tiba-tiba gemetar. Dadanya semakin sesak ketika sang Umi menggeleng.

"Abi menerima lamarannya, Tar. Karena kamu tahu, Difan-"

"Kalian kenapa tiba-tiba mutusin hal yang besar kaya gini tanpa sepengetahuan Mentari?" sela wanita itu.

Ibu Fatma terdiam menatap puteri semata wayangnya berkaca-kaca.

Kharisma Mentari, dibesarkan dari kalangan keluarga yang mengerti agama. Ditempa dengan pemahaman islam sejak ia berumur lima tahun. Sejak kecil ia tak pernah menentang apa yang menjadi keputusan kedua orangtuanya. Karena ia tahu kalau ridho Allah ada pada ridho kedua orangtuanya.

Tapi untuk kali ini, entah mengapa ia ingin menentang apa yang menjadi keputusan dua malaikat tak bersayapnya itu. Ia kecewa, benar-benar kecewa untuk saat ini. Rasanya ia ingin menangis saja. Dadanya sesak karena masa depannya sudah diputuskan sejauh ini dan tanpa sepengetahuannya. Bukannya apa-apa, tapi baginya ini terlalu cepat. Ia bahkan baru saja sembuh dari patah hatinya, dan kini sesuatu yang tak pernah terlintas di pikirannya kembali menghujamnya. Kenyataan yang membuat hati dan pikirannya kembali beku.

"Dengerin Umi dulu, Tar," ujar wanita paruh baya di depan Mentari itu.

Mentari menggeleng pelan seraya bangkit dari duduknya. Ia tak ingin mendengar apapun alasan atau penjelasan yang akan uminya katakan. Hingga tanpa sepatah kata pun, ia melangkah ke arah kamarnya dengan perasaan kalut, diikuti Ibu Fatma di belakngnya.

Gadis itu mengepalkan tangannya dengan kuat. Ia kemudian menghempas tubuhnya di atas kasur dengan keras. Ia ingin berteriak marah. Tapi sayangnya mereka adalah orangtua yang sudah merawatnya.

"Tar," panggil Ibu Fatma.

Kasur di sebelah kanan Mentari sedikit bergerak, menandakan wanita itu mendudukkan dirinya di sana. Mengusap kepala Mentari yang tertutup kerudung hitam instannya. Gadis itu terisak dalam tenggelam wajahnya di atas bantal.

"Kamu tahu, Abi bahagia banget setelah menerima lamaran Difan." Suara wanita paruh baya itu kembali terdengar. "Abi dan umi percaya kalau Difan bisa dipercaya. Dia laki-laki yang baik dan bertanggungjawab. Umi bisa melihat ada kesungguhan di mata pria itu," imbuhnya.

Jika pria itu bukan Difan, mungkin rasanya tidak akan sekecewa ini. Karena dulu, Mentari sempat menolak pernyataan cinta pria itu. Ia kira Difan sudah menyerah mengejarnya. Melihat dari perubahan pria itu, mungkin tidak ada yang mengira kalau Mentari masih menjadi bagian dari setiap bait do'anya.

"Minggu depan Difan dan keluarganya akan datang lagi, Tar. Kamu harus ikhlas." Mentari tetap menggeleng tak terima. "Ada hal yang belum abi ceritakan ke kamu. Beberapa malam yang lalu, abi pernah mimpi bertemu dengan pria muda berkuda. Saat itu ia menyelamatkan kamu. Membawa kamu di belakangnya dengan kuda yang ditungganginya," jelas uminya. Mentari diam menyimak.

"Abi menafsirkan hal itu sebagai jodoh kamu yang sudah dekat.  Dan benar saja. Hari ini, Difan datang dengan segala tekadnya. Ia bahkan sempat mengaji dengan Abi. MasyaAllah banget, bacaannta fasih dan suaranya merdu, Tar. Bukannya kamu pernah bilang kalau pengen berjodoh dengang pria yang dekat dengan Al-Qur'an?"

"InsyaAllah, umi percaya dia bisa membimbing kamu seperti apa yang kamu harapkam selama ini. Menikah dengan pria yang bisa membimbing dan membahagiakan kamu." Wanita pruh baya itu terus mengusap kepala Mentari, sembari mendoakan kebaikan atas anak perempuannya itu.

Mentari bangkit dari posisi berbaringnya. Dengan ujung kerudungnya, ia menghapus air mata yang masih saja mengalir deras di pipinya. Ia menghirup udara segar sebagai pasokan oksigen yang beberapa saat lalu terasa mulai berkurang di paru-parunya.

"Jika itu yang terbaik menurut Abi dan Umi, kalau begitu Mentari ridho, Mi. Mentari terima apa yang menjadi keputusan Abi dan Umi," ujar Mentari pada akhirnya. Suara serak tak bisa disembunyikannya.

***

Hari sakral itu pun tiba. Setelah lamaran resmi dilangsungkan, para tetua memutuskan untuk mempercepat waktu akad nikah. Karena menurut mereka, sesuatu yang baik tidak bisa ditunda lebih lama. Semakin cepat malah lebih baik. Dan dua bulan berikutnya, dilangsungkanlah acara sakral, yang merupakan perjanjian antara Allah dan memperlai pria yang langsung disaksikan oleh para  malaikat.

Di masjid kompleks, sudah dipadati oleh masyarakat di sekitarnya. Mereka berbaur dengan beberapa tamu undangan yang hadir pagi itu. Di tengah-tengah kerumpunan orang-orang itu Difan duduk didampingi pamannya, saudara dari almarhum ayahnya. Duduk bersimpuh di hadapan sang penghulu. Dengan setelan baju pengantin berwarna putih dengan peci bewarna senada, pria berdarah sunda itu semakin terlihat lebih dewasa dan berwibawa.

Jauh di belakangnya, di sekat gorden hijau, Mentari duduk dengan posisi yang sama. Di dampingi umi dan juga calon ibu mertuanya. Ia mengenakan gaun putih panjang yang tidak terlalu lebar, dipadukan kerudung putih panjang sederhana tanpa selatan jarum pentul di manapun. Cukup dengan make up tipis, gadis yang sebentar lagi akan menjadi istri sah Difan itu tampak terlihat cantik dan anggun.


"Bismillahirohmanirrahim, yaa Radifan Mahesa bin Hadi Purwono," ujar Ayah Mentari seraya berhabat tangan dengan Difan.

"Na'am."

"Uzawwijuka 'ala ma amarollohu min imsakin bima'rufin au tasriihim bi ihsanin, ya Radifan bin Hadi ankahtuka wa zawwaj-tuka makhthubataka Kharisma Mentari binti Henis Setiar bi mahri mushaf Al-Qura'an wa alatil 'ibadah haalan."

"Qobiltu nikaahahahaa watazwiijahaa bil mahril madz-kuur wa rodhiitu bihi wallahu waliiyut-Taufiq," ujar Difan dengan lantang membuat para tamu yang hadir mengucap hamdalah secara bersamaan.

"Alhamdulillahi rabbil aalamiin."

Bersambung...

InsyaAllah, Move On! #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang