Bagian dua puluh sembilan

1.1K 94 0
                                    

Pra-Move On!

***

Ayam di luar sana sudah bekokok sejak adzan subuh belum berkumandang tadi. Cahaya matahari bahkan sudah mulai mengintai di balik tirai kamar Difan. Pria itu menggeliat saat cahaya-cahaya itu mulai menyilaukannya.

Untuk beberapa saat kemudian, ia terdiam pada posisinya; terlentang dengan kedua lengannya seperti tengah mengibarkan sayap. Ia raba bagian sisi kanan tempat tidurnya. Tempat di mana Mentari biasanya merebahkan dirinya.

Difan menghembuskan napasnya berat. Sebenarnya ia sudah biasa tidak menemukan istrinya ketika bangun tidur. Setelah subuh tiba, Mentari akan bangun terlebih dahulu tanpa membangunkan Difan. Dan itu tentu saja membuat Difan merasa kecewa.

Dengan sempoyongan, ia berjalan ke arah kamar mandi. Mengambil wudhu, dan melakukan sholat subuh. Seperti biasa, sebelum meninggalkan kamar Mentari memang menyediakan alat sholat untuk Difan. Seperti baju koko dan sarungnya, kemudian menggelar sajadah di bawah kaki tempat tidur. Tapi ia sama sekali tidak membangunkan Difan.

Setelah selesai sholat, Difan kemudian bersiap untuk berangkat ke kantor. Pria yang sudah rapi dengan pakaian kantornya itu melangkah keluar dari kamarnya. Ibu Tia dan Dina sudah tidak di rumah. Sepertinya mereka sudah berangkat ke toko sebelum Difan keluar.

Sampai di meja makan, pria yang kini sudah tidak berjambul itu menemukan makanan telah tersaji di atas meja. Lagi-lagi Difan menghela napas lelah. Istrinya memang pengertian. Tapi entah mengapa dia sama sekali tidak mengerti bagaimana harus berbicara dengannya. Bahkan setelah seminggu umur pernikahan mereka, komunikasi antara Difan dan istrinya bisa dihitung. Mungkin hanya dua kali, setelah selesai resepsi dan beberapa hari yang lalu saat Difan menanyakan di mana letak sepatunya.

Difan kemudian menarik kursi kayu di depannya dengan pelan. Ia masih mencoba untuk bersabar dan menguatkan hatinya. Ia sebenarnya bosan dengan keadaan mereka yang terbilang sangat tidak wajar ini. Difan tahu, mereka tidak menikah karena adanya cinta. Ralat. Ada tapi hanya Difan yang merasakannya. Mentari masih sama seperti dulu sebelum mereka menikah. Gendis salah jika sudah mengira sahabatnya itu kini telah move on dan ingin memulai hidup baru dengan Difan. Buktinya, sampai sekarang gadis itu masih saja tak acuh dan benar-benar mendiamkan Difan. Bahkan selesai mempersiapkan sarapan untuk Difan pun, Mentari tidak berinisiatif untuk menemani pria yang sudah satu minggu ini berperan sebagai suaminya.

Dari tempat duduknya, Difan bisa mendengar seseorang menyapu di halaman belakang. Dan ia tahu kalau itu Mentari. Wanita itu, selalu saja mencari kesibukan lain agar tidak menampakkan wajahnya di depan Difan. Dengan kasar, Difan mendorong kursi yang ia duduki. Ia melangkah dengan hati yang gusar menuju garasi dan mulai meninggalkan rumah denga hati yang kacau. Jika berlama-lama di rumah, dadanya akan terasa sesak karena ulah Mentari.

***

"Mentari masih tetap sama, Yan," ujar Difan pada seseorang di seberang telepon. "Gue gak tahu harus mulai dari mana lagi supaya Mentari bisa benar-benar menerima kehadiran gue," lanjutnya dengan hembusan napas kasar.

Terdengar suara dehaman pelan dari seberang. Abrian, pria yang kini tengah bertugas melakukan sebuah proyek di luar negeri harus kembali mendengar keluahan-keluhan yang sama setiap harinya dari sahabatnya itu.

"Lo tahu, kadang kehidupan pernikahan tidak semanis yang lo bayangin, Fan. Dan bukannya gue udah pernah bilang sebelumnya?"

InsyaAllah, Move On! #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang