Bagian dua puluh dua

911 82 0
                                    

Pra-Move On!

Happy reading, Jombs :')

***

Waktu berjalan begitu cepat dan sekarang semester akhir telah menyapa. Difan bahkan tak menyadari begitu cepat mereka berada di titik puncak kuliah mereka. Perasaan, baru kemarin sore ia masuk kuliah sebagai seorang junior cupu yang setiap korodor dibully seniornya. Dan sekarang, tahu-tahu ia sudah menjadi mahasiswa yang hampir uzur dan menjadi idola di seluruh penjuru kampus.

Waktu memang berjalan begitu cepat bukan?
Dan seperti kebanyakan mahasiswa lainnya, begitupun dengan Difan yang merasa semester akhirnya terasa begitu menyiksa. Entah ia yang menjadi semakin bego atau memang mata kuliahnya yang menjadi semakin sulit dicerna otak, hati dan juga ginjal yang setiap kali pertemuan, rasanya ginjalnya selalu memproduksi air seni yang lebih banyak hingga kantung kemih tidak bisa menampungnya lebih lama. Apalagi dengan tuntutan proposal yang harus selesai di semester ini, membuatnya kelelahan dan merasa kelimpungan mengikuti jadwal kuliah yang semakin hari semakin padat.

"Fan, tumben lo selesai konsul lebih awal," ujar Abrian seraya menepuk pundak Difan yang kini tengah mengetik sesuatu di laptopnya.

Difan mendongak ke arah Abrian yang berdiri di sampingnya, sekilas kemudian kembali melanjutkan kegiatannya. "Kata dosen pembimbing gue judulnya udah oke. Jadi gak ada yang perlu dikonsultasi lagi. Mungkin masuk bab satu baru banyak," jelasnya.

Abrian mengangguk paham. Ia kemudian duduk di samping Difan. Saat ini mereka sedang berada di taman belakang fakultas teknik. Difan yang tengah serius mencari beberapa referensi untuk proposal skripsinya mengabaikan keberadaan Abrian.

"Udah ditentuin tempat KKN di mana?" tanya Abrian memecahkan keheningan.

Difan berhenti mengetik sesuatu di laptopnya. Sebelum menjawab pertanyaan Abrian, ia menutup laptopnya terlebih dahulu. "Belum. Kayanya minggu depan," ujarnya.

"Yakin lo bisa kerjain proposal sambil KKN? Gak bakalan ribet emang?" tanya Abrian dengan kening berkerut.

Difan mengangguk mantap.
"Yakinlah. Gue mau setelah selesai KKN, bab tiga langsung konsul," jawab Difan sungguh-sungguh.

Abrian senang melihat Difan fokus dengan kuliahnya. Lagi-lagi, seperti seorang ayah, ia bangga melihat sahabatnya bisa menjalani hidup dengan teratur. Sekarang pria berkaus oblong yang duduk di sampingnya itu sudah tidak lagi pusing masalah asmaranya. Dia malah sekarang lebih sering mempelajari tentang ilmu agama dan membaca beberapa buku-buku sejarah Islam di sela-sela kesibukan kuliahnya.

Difan, yang dulu kocar-kacir memikirkan bagaimana cara agar ia bisa move on, kini sudah mantap pada hijrahnya. Move on baginya sekarang bukan lagi tentang mengikis ribuan detik yang ia lalu di masa lalu. Sekarang baginya move on adalah sebuah perantara cinta menuju Rabbnya.

***

Di lain tempat, sama halnya dengan Difan, Mentari juga tengah berusaha terus memperbaiki dirinya. Memantaskan diri agar layak di hadapan Allah dan calon imamnya kelak.

Hari ini, seperti hari minggu sebelumnya Mentari akan mengikuti kajian rutin seperti biasa di masjid kompleks perumahannya. Hari ini selalu menjadi hari yang ditunggunya. Bersama Gendis, ia mulai menginjakkan kakinya di pelataran masjid yang masih terlihat sepi.

Ia dan Gendis berjalan beriringan bersamaan dengan senyumnya yang masih terus menghiasi wajah cantiknya. Gendis bahkan sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan aneh sahabatnya.

"Ustad Haidar, assalamualaikum."

Suara ibu-ibu yang berdiri menyambut kedatangan Haidar di depan gerbang masjid terdengar di telingan mereka. Membuat Mentari yang kala itu terlihat anggun dengan gamis pink soft refleks menoleh. Senyumnya semakin merekah saat menangkap sosok Haidar dikelilingi segerombolan ibu-ibu. Kali ini, Gendis sedikit acuh dengan apa yang tengah sahabat di sampingnya itu lakukan. Gadis dengan perawakan kecil itu kini lebih tertarik dengan ponsel di tangannya.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah. Ibu-ibu apa kabar?" Suara Haidar terdengar ramah.

Ibu-ibu itu menjawab dengan kompak, terdengar seperti paduan suara. "Alhamdulillah baik, Ustad."

Dari undakan masjid, Mentari bisa melihat senyum teduh Haidar tersungging. Pria itu kemudian bercakap-cakap dengan ibu-ibu itu. Awalnya Mentari mendengar mereka hanya berbasa-basi saja. Lama-kelamaan, pembahasan mereka menjadi semakin serius.

"Ustad Haidar katanya kemarin habis khitbah anak gadis di kompleks sebelah ya?" tanya salah seorang wanita paruh baya dengan gamis putih tulang.

Mentari semakin menajamkan pendengarannya.

"Alhamdulillah, doakan saja ya, Bu," ujar pria itu dengan maksud membenarkan.

"Yah, padahal saya mau calonkan anak saya buat ustad," ujar salah seorang wanita paruh baya yang berada di samping waniya bergamis putih tulang tadi, yang mendapat senyuman kalem dari Haidar.

Gadis yang masih menatap ke arah mereka itu menjadi diam mematung. Perasaannya tiba-tiba menjadi risau. Haidar dan khitbah. Dua kata itu sukses membuat kepalanya tiba-tiba pening.

Gendis yang samar-samar mendengar pembicaraan ibu-ibu pengajian dengan Haidar itu seketika menoleh ke arah Mentari. Ia ikut terdiam saat melihat wajah pias Mentari. Namun dengan segera, ia mengembalikam kesadarannya dan mengusap pundak sahabatnya.

"Tar?" panggilnya, membuat Mentari menatap kosong ke arahnya. "Masuk yuk?" ajaknya kemudian menuntun Mentari berdiri, meninggalkan segerombol ibu-ibu yang masih mengintrogasi peroses lamaran Haidar.

Mentari duduk di bagian paling belakang. Biasanya, jika suasana hatinya sedang baik-baik saja ia akan lebih memilih untuk duduk di syap paling depan yang mengarah langsung ke arah mimbar tempat Haidar berdiri. Namun kali ini berbeda. Karena mencuri dengar tadi, moodnya langsung berubah. Bahkan sekarang saja ia tidak fokus menyimak ceramah yang Haidar sampaikan di depan sana. Pikirannya buyar ke mana-mana.

Hal yang selalu Gendis koar-koarkan selama ini terjadi juga. Hal yang tak pernah ia sangka terjadi kini menghempaskan segala macam angan-angan yang selalu ia harap menjadi kenyataan. Satu hal yang entah kenapa sampai ia lupa, bahwa pengharapan yang lebih terhadap selain Allah itu pada akhirnya akan menyisakan kekecewaan yang luar biasa. Dan ia juga baru sadar, bahwa ternyata selama ini ia lebih banyak memperbaiki diri hanya karena ingin terlihat sepadan dengan Haidar. Niatnya salah. Hijrahnya penuh dengan kepalsuan.

Mentari dan kekecewaan yang sebenarnya bersumber dari pengharapan semunya.

Bersambung...


***

Part yang ngacow bin gajeh :(

InsyaAllah, Move On! #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang