Bonus Part

214 22 0
                                    

Cuaca hari ini terik sekali. Difan sampai ingin mengurung diri  di laboratorium struktur, kemudian duduk manis di depan AC saking gerahnya.

"Yan, gue balik duluan yah?" katanya pada Abrian yang kini tengah mengutak-atik sebuah mesin air modern milik kantin fakultas.

Kadang Difan suka heran dengan sahabatnya ini. Kejeniusannya bukan main ternyata. Anak program studi teknik sipil yang katanya cuma bergelung dengan besi dan beton, kini malah berkutat dengan mesin modern yang notabenenya bukan bidangnya.

"Ntar dulu. Dikit lagi nih, kelar," ujar Abrian tanpa menoleh.

"Lagian, lo sok pinter banget sih. Orang yang begituan mah, kerjaannya anak mesin. Lo yang anak beton mah gak cocok, " gurau Difan, dengan sesekali menggoyangkan lengan Abrian yang tengah memegang obeng kecil.

"Ck, lo apaan sih, Fan. Jangan ganggu! Dikit lagi kelar nih," geram pria blasteran itu. "Lagian nih ya, kalo gue bisa perbaiki ni mesin, kantong kita bakalan selamat sampai seminggu. Ini udah jadi kesepakatan gue sama Teh Reni," imbuhnya, yang sialnya sukses membuat Difan terdiam dan kembali duduk dengan anteng.

Dari ekor matanya, Abrian bisa melihat sahabatnya itu bersungut-sungut, dengan bibir bawah dikrucutkan. Sesekali desahan kesal keluar dari mulut pria berjambul itu. Namun, Abrian sama sekali tidak ambil pusing.

Sebenernya pria keturunan Arab Jawa ini tahu, kalau sahabatnya sedang banyak pikiran. Berada lebih lama di kampus, akan membuat pria berjambul itu semakin merasa gelisah. Sebab Abrian mengerti bahwa akhir-akhir ini Difan tak suka keramaian. Ia lebih suka mengurung diri, merenung bahkan tenggelam dalam dunia komik lamanya.

Jika berada di kampus, Difan akan teringat lagi dengan sosok Adara, mantannya. Namun pikir Abrian, mengurung diri di rumah justru akan semakin membuat perasaan Difan semakin sesak dan sumpek.

"Nah, dah kelar. Gue ke Teh Reni dulu ya. Awas kalo lo ngacir duluan," ancam Abrian sebelum beranjak dari duduknya.

Difan mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

Malas memandang meja kayu lusuh di hadapannya, ia pun mencoba mengedarkan pandangan. Menyusuri setiap sudut kantin yang tak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pengurus himpunan, yang siang itu tengah berdiskusi.

Sambil mengipas-ngipasi wajah dengan selembar menu yang telah dilaminating, Difan menghentikan pandangannya pada seorang perempuan. Ia berdiri di bawah pohon mangga di depan parkiran fakultas.

Difan tahu perempuan itu. Rambut hitam sebahu, totebag dengan warna brown disampirkan ke bahu. Ia berdiri, kepanasan. Terlihat dari wajahnya yang berubah merah.

"Itu Dara, Fan?" Suara Abrian di sampingnya tiba-tiba menyadarkan. Pria itu ntah sejak kapan kembali menempati bangku kayu di sampingnya dan kembali berkutik dengan mesin air di depannya.

Difan menghela napas, kasar. Dengan gerakan serampangan, ia mengusap wajahnya gusar. Perasaan sesak, seperti ada yang menghimpit dadanya kembali terasa. Sudah dua minggu, tapi rasanya masih sesakit ini. Setiap kali mengingat Adara, ia selalu merasa begitu tersiksa. Dia memang lemah. Dan Difan tak akan mengelak untuk itu.

"Lemah lo!" Abrian berdecih.

"Susah, Yan. Susah banget buat ngilangin perasaan ini. Sakitnya kaya gak ada obat," ujar Difan setengah berbisik.

"Tahu ah. Gue gak pernah patah hati. Jatuh cinta emang seribet ini, yah? Makanya sih, gue gak mau cari sakit yang disengaja. Mahal obatnya. Gak dijual di apotek," cerocos pria keturunan Arab Jawa itu.

Difan yang tersinggung, kini malah berdecih. "Tangan sama mulut jangan dibiasain kerja barengan. Nggak akan kelar itu kerjaan," sindir Difan pada Abrian yang tak hentinya bersuara, padahal tangannya begitu sibuk dengan mesin air yang sepertinya kembali ia perbaiki.

"Ya  ... lo juga. Hati sama otak disingkronin biar sejalan. Lo pikir makan hati enak apa?"

Difan terdiam. Sudah tak lagi meladeni ucapan Abrian yang selalu tepat sasaran. Hari ini Difan menyadari beberapa hal. Salah satunya, semenjak Difan mengalami penyakit patah hati, Abrian berubah jadi orang paling lemes sedunia. Mulutnya makin hari makin pedas. Nggak tau kenapa, Abrian yang berkarakter kalem berubah jadi cerewet.

"Lo jangan mau diperbudak rasa. Terlebih hal itu bikin lo nutup telinga, pura-pura bisu, dan bahkan menutup mata saat nasehat baik disampaikan. Lo bakalan sesat. Karena sejatinya, cinta bukan hanya mensucikan. Tapi juga bisa membuat lo berkubang dengan segala bentuk kemunafikan." Selepas menyelesaikan kegiatan reparasinya, Abrian menutup kata yang ia buka hari itu dengan Difan.

Sejujurnya Abrian juga capek melihat sahabatnya yang ceria dan penuh lelucon ini jadi berubah pendiam. Abrian terbiasa dengan Difan yang suka mengeluarkan tawa menggelegar saat teman-temannya mulai melempar lawakan. Dan sekarang pria itu muak dengan wajah sendu, mata sayu juga rambut kusut Difan. Membosankan, batinnya.

"Dahlah. Lo kalo bosen jadi cowok, jangan main sama gue. Males gue temenan ama bencong hobi galau macam lo," sakras Abrian sekali lagi.

"Sialan. Gak ada hati banget lo, kupret!"

The end~

****

Wkwk kangen Difan, makanya nulis ini. Ntah kapan mau direvisi :v

InsyaAllah, Move On! #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang