Bagian dua puluh delapan

1K 91 0
                                    

Pra-Move On!

Hari itu, untuk pertama kalinya hati Mentari luluh karena Difan. Perasaannya terenyuh dengan air mata yang kembali membasahi pipinya. Mendengar kalimat sakral yang terucap lantang dari bibir Difan, membuat hati Mentari tiba-tiba merasa berdesir. Tidak ada cinta di antara mereka, tapi meski begitu terselip rasa hangat di hatinya.

Kedua wanita yang mendampinginya langsung memeluk tubuhnya bergantian. Uminya mengecup pelan kepala Mentari, ketika gadis itu menyalaminya. Sementara Ibu Tia, ibu mertuanya menghapus jejak air mata di pipi tirusnya. Mereka kemudian bangkit, mendampingi Mentari menghampiri Difan setelah acara penutup yaitu do'a telah usai.

Di depan Difan, Mentari didudukkan dengan cara bersimpuh. Gadis itu menunduk dalam. Difan menyodorkan tangannya. Tapi, sampai beberapa menit berikutnya, Mentari tidak juga meraih tangan pria itu. Sampai sang umi yang duduk di belakangnya memegang pundak sebelah kirinya, barulah ia mengangkat kepalanya dan mendapati tangan Difan masih menggantung di udara.

Mentari menoleh ke arah uminya, membuat wanita paruh baya itu mengangguk dan menyuruhnya untuk mencium tangan Difan. Sebagai bentuk bakti, Mentari pun meraih tangan kekar Difan dan menciumnya dengan khidmat. Kemudian Difan membacakan do'a di atas kepalanya, meminta kebaikan atas wanitanya dan juga kebaikan atas pernikahannya. Berharap mereka bisa membina dan membangun generasi islam yang baru. Yang bisa mendatangkan kemaslahatan bagi agamanya.

Setelahnya, Difan sedikit memajukan tubuhnya ke arah Mentari dan mencium kening gadis itu. Tidak lama, karena Mentari langsung menjauhkan dirinya. Difan yang menerima hal itu  tersenyum, maklum.

Pukul satu siang, setelah sholat dzuhur berjamaah di masjid kompleks, acara resepsi dilaksanakan dengan sederahan di kediaman Difan. Tidak banyak tamu yang diundang. Hanya ada kerabat dan teman dekat dari Difan dan Mentari.

Di atas panggung kecil di samping rumah, Difan duduk berdampingan dengan Mentari pada sofa panjang yang disediakan. Persis seperti Raja dan Ratu. Mentari yang hanya mengenakan gamis putih tulang dengan jilbab panjang menjuntai menundukkan kepalanya, mengindari lirikan mata Difan.

"Aih, gila! Lo bener-bener mendahului gue ya, Fan. Jahat lo ninggalin dedek," ujar Deno dengan dramatis, membuat Difan terkekeh.

"Jodoh gue lebih deket daripada lo, Dugong," sahutnya. Pria berambut keriting itu malah tergelak.

"Iya deh, iya. Barakallah calon bapaknya anak-anak," ujar Deno yang malah membuat teman-temannya yang mengantre untuk menyalami Difan tergelak mendengar kalimat terakhir yang merupakan kalimat andalan Difan itu  malah digunakan pria dengan rambut keriting itu.

Difan ikut terkekeh seraya menggaruk tengkuknya. Ia menatap Mentari yang hanya menyunggingkan segaris senyum tipis.

"Fan, barakallah. Sakinah mawadah warohmah ya kalian berdua." Kini giliran Zulhan yang menyalaminya, menepuk pundak Difan dengan pelan. "Entar malem jangan nakal, Fan," bisik pria itu.

"Bisa aja lo," ujar Difan.

Di belakang Zulhan, berdiri seorang pria berambut cokelat ikal berkemeja batik. Menatap ke arahnya dengan senyum wibawanya. Abrian. Sudah lama Difan tak berjumpa dengan sahabatnya itu. Pria Arab Jawa itu kini bekerja di luar negeri. Hingga mereka hanya sesekali berkomunikasi via telepon.

"Akhirnya, do'a lo selama ini diijabah juga. Barakallah ya, Fan. Jadi suami dan imam yang baik lo. Jangan sia-siain jawaban atas do'a lo selama ini," ujar Abrian, membuat Mentari yang ikut mendengar hal itu terdiam menyimak.

Difan dan jawaban atas do'anya. Mentari menjadi salah satu list dalam do'a Difan? Satu fakta yang membuat hati Mentari kembali menghangat bersamaan dengan rona merah di pipinya. Ish! Jangan mulai, bisik hati gadis itu.

"Syukran jazakallah, Yan. Selama ini lo bener-bener sahabat sekaligus saudara yang udah mendukung  setiap langkah gue hingga sejauh ini," ujar Difan. Abrian mengangguk kemudian berpelukan ala mereka. Saling menepuk pundak beberapa kali, sebagai isyarat dukungan.

Difan sangat bahagia. Senyum di wajahnya bahkan tak pernah luntur sejak kalimat sucinya terucap pagi tadi. Meski duduk di sebelahnya, wajah Mentari terus saja memenuhi otaknya. Ia tak berani menoleh. Hanya lirikan dari ujung matanya yang mewakili keinginannya untuk menatap penuh wajah istrinya.

Ia sadar Mentari tak bahagia. Ia bahkan hanya menyalami tamu dengan sesekali tersenyum simpul. Bahkan ketika bersalaman dengan Gendis tadi, reaksi yang dikeluarkan gadis itu malah membuat Difan merasa kecewa. Mentari menangis di pelukan sahabatnya. Mengabaikan keberadaan Difan yang sejak pagi berada di sisinya. Gadis itu belum sepenuhnya ikhlas atas pernikahan mereka.

***

Acara resepsi usai sejak pukul lima sore tadi. Tapi beberapa teman Difan baru saja pulang. Dan itu membuat pria itu harus menghabiskan waktu bersama godaan-godaan mereka yang malah membuat Difan ingin segera meninggalkan tempat duduknya.

Pria yang masih mengenakan koko putih itu memasuki kamarnya dengan pelan. Mentari sudah masuk sejak Gendis dan teman-temannya yang lain pergi sore tadi. Kini gadis yang sudah sah menjadi istrinya itu meringkuk di atas ranjangnya. Menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut tebal bergambar club andalan Difan, FC Barca.

Difan masih berdiri di depan pintu. Menutup pintu kayu di belakngnya kemudian melangkah menghampiri Mentari. Ia duduk tepat di sisi ranjang yang dibelakangi istrinya.

Ada rasa hangat yang menjalar di hatinya saat mengingat saat ini mereka telah sah menjadi suami istri. Namun satu hal yang masih mengganjal di hatinya, yaitu sikap gadis itu yang membuat Difan sedikit tersinggung. Difan masih tetap mencoba untuk membuat Mentari menerima kehadirannya. Meski gadis itu masih bersikap abai, tapi Difan percaya suatu saat nanti ia akan sangat peduli dengan Difan. Menemani setiap saat ketika Difan lelah, persis seperti apa yang ia inginkan selama ini.

Capek. Badanya terasa gerah dan lengket. Difan kemudian bangkit dan mulai melangkah menuju kamar mandi. Sepertinya ia butuh mengguyur tubuhnya dengan air hangat agar penatnya segera berlalu.

Sementara itu, setelah Difan memasuki kamar mandi, Mentari yang sebenarnya menyadari kehadiran Difan terbangun. Ia duduk memperhatikan pintu di depannya dengan sendu. Perasaan bersalah karena telah mengabaikan Difan membuatnya sulit untuk memejamkan mata. Ia ingin meminta maaf pada pria itu namun, perasaan tak suka kembali menghimpitnya. Rasanya ia belum bisa menerima takdir yang mengikat mereka kini. Mentari masih belim ikhlas.

Mentari kemudian ingat pesan uminya sebelum Difan membawanya ke rumah ini. Ia harus menjadi istri yang berbakti pada suaminya. Melayaninya dengan ikhlas dan sepenuh hati. Hingga dengan perlahan, ia bangkit dari duduknya.

Ia melangkah menuju lemari kayu di samping pintu kamar mandi. Membukanya dan mengambil baju koko bersih serta sarung untuk Difan. Ia ingat kalau suaminya itu belum melaksanakan sholat isya. Jadi ia menggelar sajadah di samping tempat tidur untuk Difan sebelum akhirnya kembali merebahkan badannya di atas ranjang Difan.

Bersambung...

InsyaAllah, Move On! #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang