Bagian 14

3.1K 124 24
                                    

Baiklah, ini memang sudah takdir. Aku harus bisa merelakan mu, walau sangat amat sulit bagi ku..
(Iptu Dinda berliana putri s.trk)

Iptu. Dinda B.P pov
Hati ku sangat senang dan lega, bisa melahir kan si kecil yang cantik dan sangat mirip Dharma. Aku....entah lah, tak ada sama sekali.

Aku menggendong tubuh mungil nya. Dia di taruh di atas tubuh ku, tertelungkup dan menyesap ASI. Perlahan, ia membuka mata nya yang sangat sipit karena baru lahir. Mata nya yang cantik, menatap ku dan menarik senyuman di bibirnya. Ah, dia ternyata memiliki lesung pipit di sebelah kanan, sama dengan ku.

Tatapan dan senyuman nya, seperti menyemangati ku bahwa sang ayah tengah berjuang di ruang operasi. Aku memeluk tubuh nya, dan mencium kening nya.
"Bu Dinda, selamat ya. Saya sangat kagum pada bu Dinda, ibu benar-benar wanita yang sangat kuat dan tangguh. Walau tak di dampingi pak Dharma, tapi ibu tetap semangat melahir kan si kecil. Semangat ibu tidak pernah putus, saya kagum. Dedek nya pasti bangga punya bunda yang cantik, baik, pintar, dan tangguh seperti ibu..." kata dokter Liana sambil mengusap bahu kanan ku. Aku hanya bisa menitih kan air mata. Banyak sekali orang yang sering menyemangati ku seperti ini. Ah, siapa yang tak tahu nasib ku? Satu polda juga tahu. Gak aneh makanya.
"Iya dok, terimakasih. Saya juga berterimakasih pada dokter, sudah membantu saya melahir kan" aku sedikit menyingkir kan rasa sedih di hati ku.
"Iya sama-sama bu" dedek bayi ku di ambil dan di bawa pergi. Selanjut nya, aku kembali merasa sedih. Dimana, harus nya sekarang Dharma ada disisi ku saat aku melahirkan. Tapi apa daya, dia juga sedang berjuang di ruang operasi. Melawan rasa sakit nya, agar bisa kembali pulih.

R

asa lelah pun mulai menerpa tubuh ku. Aku lemas, dan akhir nya terlelap tidur.

                            ~~~~~~
Author pov

Dharma sedari tadi memanggil nama Dinda. Dia sudah selesai di operasi, yang berjalan sangat lama itu. Sekitar 3 jam. Dharma bermimpi bahwa dia akan berpisah dengan Dinda, mau pun bayi yang ada di gendongan Dinda. Ia tidak tahu, kalau bayi kecil itu adalah tanda bahwa Dinda telah melahir kan.

Dharma ingin memeluk tubuh Dinda, dan bayi mungil itu. Namun, kaki nya sangat susah dan berat di gerakan. Tangan nya berusaha menggapai Dinda yang tersenyum dengan air mata yabg terus keluar.
"Dharma, aku mengikhlas kan mu....pergilah Dharma, aku baik-baik saja dengan anak kita di dunia. Pergilah, doakan kami berdua disini agar kami bisa menyusul mu di surga Dharma..." suara Dinda seolah melepas kan Dharma dengan berusaha ikhlas dan tabah. Dinda semakin jauh berjalan, dan tubuh nya mulai menghilang.
"Dinda! Dinda! Jangan tinggal kan aku!" Teriak Dharma, siapa tahu Dinda bisa kembali.

Di dunia nyata, Dinda mulai mengerjap kan mata nya. Adzan subuh sudah berkumandang. Yang pertama kali ia lihat adalah bayi nya yang sedang tertidur di kotak kaca. Bayi nya sangat lucu, menggemas kan, cantik, dan imut. Tapi, wajah nya benar-benar mirip ayah nya. Hanya ada satu kemiripan dengan Dinda, yaitu lesung pipi.

Tok tok tok...
"Selamat pagi bu" Dinda menoleh ke arah pintu. Seorang perawat perempuan masuk.
"Pagi, ada apa sus?" Tanya Dinda lembut.
"Pak Dharma bu, pak Dharma sedari tadi mencari ibu. Dan ingin bertemu ibu dengan anak ibu dan bapak"

Deg!
Jantung Dinda langsung berdetak kencang, dan mata nya membulat.
'Dharma, aku akan datang' gumam Dinda dalam hati.
"Baik sus! Saya akan kesana" perawat itu pun langsung membantu Dinda duduk di kursi roda. Lalu, bayi nya di gendong oleh Dinda.

Dinda melihat Dharma terbaring di ranjang dengan selang yang menempel di dada nya. Dinda hanya bisa menangis, melihat Dharma seperti ini.
"Din...da.." Dharma menggerak kan tangan nya, Dinda langsung menggenggam tangan Dharma.
"Iya mas, aku disini. Buka mata mu, aku di samping mu. Apa kamu tidak mau melihat anak kita? Dia sangat mirip seperti mu mas.." lirih Dinda pada Dharma. Dharma pun dengan nafas yang sesak, membuka mata nya perlahan. Menatap Dinda yang sedang menangis, sambil menggendong seprang bayi cantik. Dharma ingin semua ini selesai, dia sudah di tunggu.
"Di..nnda...ini anak kita?" Tanya Dharma sambil melirik anak nya. Dinda mengangguk dan berdiri, berjalan ke arah Dharma. Dinda mendekat kan tubuh mungil anak nya, pada sang ayah.
"Mas, peluk dia dan cium dia. Ia ingin merasakan, rasanya di peluk oleh ayah nya langsung. Biasa nya kamu kan cuman peluk perut aku, sekarang peluk dia mas...." air mata terus keluar dari mata Dinda tanpa henti. Tapi, dia tetap tersenyum menatap Dharma. Dinda menaruh bayi nya di sebelah Dharma, dan Dharma pun menitih kan air mata. Tangan besar nya mengusap pipi gembil anak nya, dan mencium kening nya.
"Nak, jadilah anak yang baik, sholeh, nurut sama bunda, dan jaga bunda. Ayah titip bunda sama kamu nak..ayah sudah tidak lama di dunia ini. Temani bunda ya sayang, sayangi bunda, dan jadilah penyemangat bunda mu. Ayah percaya sama kamu nak....Dinn....ndaa sayang. Ja..jaga Lea..ma..maaf kan aku, jika se..selama ini belum bisa membahagiakan mu" Dinda menunduk, tangis nya semakin pecah dan membuat bayi nya juga menitih kan air mata tanpa suara.
"Mas...jangan pergi! Siapa yang akan menjaga kami berdua mas?! Siapa yang akan melindungi kami?! Jangan pergi..." Dinda memeluk Dharma. Bibir Dharma bergetar, saat si malaikat mau mencabut ruh nya.

Nit.............
Garis lurus terpampang di layar EKG, Dinda pun tak kuasa dengan semua ini.
"Hiks....Dharma!! Jangan tinggal kan aku dan Leaa disini!! Aku dan Lea menyayangi mu Dharma!!! Hiks hiks....jangan pergi..." Dinda pun mengoncang tubuh Dharma. Dia benar-benar tak mau Dharma pergi. Dia sangat menyayangi Dharma, mencintai Dharma. Hanya Dharma yang bisa memahami semua nya tentang nya. Sekarang, tak ada lagi yang bisa memahami Dinda, yang bisa menjaga Dinda, dan menyayangi Dinda.

                               ~~~~

*pemakaman Dharma
Dinda tak kuasa melihat jasad Dharma di kebumikan. Tangis nya tak henti, tapi air mata nya sudah habis. Walau ia menangis sekuat apa pun, air mata nya tak akan keluar.

Setelah semua acara di laksanakan, Dinda sekarang duduk di sebelah Lea yang tertidur pulas. Dinda menggendong Lea, dan mengecup kening anak nya.
"Nak...kita harus sama-sama mengikhlas kan ayah ya? Lea mau kan temenin bunda, semangatin bunda, dan nurut sama bunda? Bunda sayang sama Lea..." Dinda mencium dua pipi gembil anak nya dan hidung mungil nya. Tangan lembut Dinda mengusap kepala anak nya.
"Lea sayang....Lea bunda namain Lea Freya Abigail ya sayang. Itu nama yang berarti nona yang pemberani dan pantang menyerah juga sebagai sumber kebahagiaan bunda ya sayang. Lea senang gak? Bunda sayang Leaa..." Dinda terkekeh pelan dan memeluk Lea. Sekarang, hanya Lea lah yang menjadi penyemangat nya, dan sumber kebahagiaan nya. Seperti nama nya.

~~~~~
Bersambung...

Ada yg nangis?
Sedih nih yak...

Biye muach muach

Cinta Si PerwiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang