Bagian 24

2.6K 115 4
                                    

"Hahaha, aku yakin! Pasti si polwan itu akan sibuk mencari anaknya kemana-mana" Dinda yang mendengar ucapan salah satu preman itu pun, menoleh. Ia menatap ke arah wajah setiap lelaki itu. Dion, Baron, dan si Hitam itu.

Dinda mengingat sesuatu, mereka adalah para pelaku pembegalan pejabat di Jakarta. Dan setahu Dinda, mereka memang sangat hebat dalam melakukan ini. Mereka mantan tahanan lapas.
"Ayo cepat, kita masih harus menculik anak lainnya" ucap si Hitam, dja adalah ketua komplotan itu.

                               ~~~~
Dinda menunggu di belakang gudang. Ia memilih menunggu para komplotan itu benar-benar pergi. Dinda yakin, Lea pasti kuat.

Setelah beberapa jam, Dinda berdiri. Mengambil nafas panjang, dan mulai berjalan. Walau tak pakai pengaman apapun, Dinda tetap berani.

Di dalam gudang, Dinda melihat Dion sedang tertidur di sofa yang sudah rusak. Dinda berjalan perlahan, mendekat ke arah Lea yang sedang tertidur namun masih sesenggukan.
"Nak...bangun sayang, ini bunda.." kata Dinda berbisik di telinga Lea. Lea membuka matanya perlahan, dan menatap bundanya dengan penuh kesenangan.
"Sst...diam ya" Lea mengangguk. Dinda melepas semua ikatan di kaki, maupun di tangan Lea. Setelah itu, ia menggendong Lea.

Saat setelah berada di dekat pintu mobilnya, langkah kaki Dinda terhenti.
"Hei!!! Ternyata kau berani sekali membawa anak itu!!! Turunkan dia, atau aku akan menembaknya?!" Dinda tetap tidak menghiraukan itu.
"Tunggu!!" Dinda masuk, dan menyalakan mesin mobilnya.

Dengan kecepatan yang tinggi, Dinda melajukan mobilnya. Lea yang melihat bundanya sedang dalam keadaan emosi dan keteganggan yang tinggi. Ia hanya bisa diam, meremat seat belt. Mata Dinda sedikit terganggu oleh cahaya dari kemdaraan yang ada di belakang mobilnya. Di dalam pikiranya sekarang yaitu hanya satu. Menemui jalanan yang ramai. Walau ia akan mati, tapi Lea harus di selamatkan oleh siapa pun. Biarkan Dinda yang terluka, asalkan Lea selamat.

Dinda sudah menemukan jalanan yang ramai, beberapa mobil di salipnya.

Tin...tinn...
"Berhenti!!" Teriak si Hitam yang mengendarai mobil, di sebelah mobil Dinda. Dinda semakin menambah kecepatan mobilnya. Memang ini sangat membahayakan, di jalan yang ramai ia harus menyalip kendaraan di sekitarnya.

Cittt.....
Dinda menghentikan mobilnya secara mendadak. Ia melihat ada nenek yang sedang menyebrang.
"Aaaaa....bundaaa!!!"

Brukk!!!
Naas, mobil yang Dinda dan Lea tumpangi tertabrak truk gandeng. Dan membuat mobil itu terguling sampai 5 kali. Untungnya tak ada pengendara lain yang terkena gulingan mobil Dinda. Mobil itu berakhir di trotoar, dan mulai mengeluarkan asap. Dinda sudah mulai lemas, pelipis dan kantung matanya mengeluarkan darah. Matanya berkunang-kunang, matanya sangat sakit untuk di pakai mengedip sekali pun. Dengan keadaan yang terbalik, Dinda masih tersenyum menatap Lea yang masih sadar.
"Le..Lea gak apa-apa kan nak?" Tanya Dinda pada Lea yang menangis melihat bundanya. Padahal Dinda merasakan sakit yang teramat, baik di kaki mau pun di bagian matanya. Dia sudah berpasrah.
"Bunda, ayo keluar!! Mobil kita akan terbakar bund..." Lea menjerit, beberapa orang yang ada di luar mobil pun bingung. Jika mereka mendekat ke mobil itu, mereka akan mati jika tiba-tiba mobil itu meledak.
"Lea mau kita keluar?" Lea mengangguk, dan mengusap pipi bundanya yang oenuh darah.
"Ayo kita keluar"

Dinda melepas seatbelt nya, lalu ia memeluk Lea dengan erat. Setelah itu Dinda menyikut kaca mobilnya.
Pyar!!!
Pecahan kata itu sampai masuk ke dalam kulit Dinda.
"Lea keluar duluan ya, kaki bunda masih terjepit" Lea menggeleng.
"Nggak bunda! Lea gak mau keluar kalau bunda belum keluar" Dinda tetap mengeluarkan Lea dari mobil itu.
"Lea, pergi!! Cari bantuan nak, cepat jangan dekat disini!!!" Dinda sudah mencium bau bensin yang mengalir. Ia sudah benar berpasrah jika ia akan mati sekarang.

Lea sudah di tarik ke jauh dari area mobilnya oleh masyarakat. Dinda berusaha mengangkat kakinya, namun sangat sulit.

Di tengah kerumunan orang-orang, seorang tentara berpakaian PDL bingung dengan kejadian apa yang terjadi.
"Maaf pak, ini ada apa?" Tanya lelaki itu pada seprang bapak yang menggendong anak dengan darah yang bercucuran dari pelipisnya.
"Ini pak, ibu dari anak ini masih di dalam mobil itu! Kami tidak berani mendekat kesana. Ini anaknya" tentara itu melihat wajah Lea. Ia merasa iba dengan kejadian ini. Lelaki itu mengingat calon istrinya yang meninggal akibat kecelakaan seperti ini.

Tanpa berbicara apapun lagi, lelaki itu melepas ranselnya lalu berlari mendekat ke arah mobil itu.

Dinda melihat ada tentara yang berlari mendekat ke arahnya. Kaki Dinda sudah terlepas, dan mulai merangkak keluar.
"Ayo mari saya bantu!" Tentara itu membuka pintu mobil, dan berjongkok berhadapan langsung dengan Dinda. Tentara itu, langsung membopong Dinda dan membawa Dinda berlari.

Duar!!!
Mobil yang tadi di tumpangi Dinda pun meledak, saat Dinda sudah berada di dalam bopongan tentara. Dinda merasa takut, dan refleks memeluk leher tentara itu. Dinda merasa sedikit melih aman, dan nyaman berada dalam bopongan lelaki ini.
"Terimakasih bang..." ucap Dinda sambil memandang wajah lelaki itu. Lelaki itu hanya diam, matanya benar-benar fokus pada satu titik.

                                ~~~~
Kapten. Ikhsan B.A pov

Aku mengusap rambut anak yang cantik, yang belum aku tahui namanya. Kasihan dia, gadis sekacil ini harus mengalami kecelakaan yang sangat serius. Wajahnya lucu sekali, pipinya yang sedikit gembil, rambutnya panjang, hidungnya mancung, dan berkulit putih. Mungkin jika Alysa masih hidup, dan kami menikah aku sudah punya anak seperti gadis ini. Lucu sekali, dan cantik. Cantik seperti ibunya.

Mungkin ibu dari anak ini berprofesi sebagai anggota. Terlihat dari postur tubuhnya, yang sangat bagus. Wajahnya teduh, cantik, dan manis. Matanya lembut, namun menujukan ketegasan. Ah, tapi aku tak boleh mencintainya. Pasti dia sudah punya suami, buktinya anaknya sekarang ada dalam pangkuanku.
"Ehm...bunda" gadis kecil yang ku pangku pun menggeliat kecil, lalu menggosok matanya.
"Bapak? Bapak siapa? Dimana bunda ku?" Tanya nya langsung, dengan sopan. Sangat berbeda dengan anak lainya yang pernah kutemui.
"Saya tadi yang membantu adik, bunda mu sedang di operasi" aku melihat dari matanya yang penuh kecemasan.
"Adik tidak perlu cemas ya, kita do'akan saja bunda mu. Saya yakin, bunda mu adalah wanita yang kuat dan tangguh. Apa benar?" Ia menatap mataku dalam. Ada apa? Apa aku salah berkata.
"Bapak benar, bunda ku memang wanita yang kuat dan tangguh....tapi aku takut, takut kehilangan bunda. Jika bunda pergi, aku dengan siapa?"
"Memang ayahmu kemana?"
"Ayah ku sudah meninggal saat aku lahir, tepat saat aku sudah di lahirkan ayah ku juga meninggal" matanya mulai di genangi cairan bening. Ia akan menangis, aku tak mau melihat ini. Gadis kecil, namun memiliki hati yang tegar.
"Kamu tidak perlu menangis, maaf ya tadi saya sudah menanyakan hal yang membuat mu sedih. Sekarang kita doa'akan bunda mu ya" gadis itu pun mengangguk dan memeluku.
"Apa ini rasanya di peluk seorang ayah? Apa ayahku sama seperti om?" Aku tersenyum dan mengusap kepalanya.
"Mungkin iya, apa kau suka? Kalau kau suka, peluk om saja. Dulu juga om sering merindukan pelukan seorang ayah" gadis itu mendongak, menatapku.
"Memang ayah om kemana? Apa sama seperti ayahku?"
"Bukan, ayah om itu seorang tentara juga. Ayah ku dulu tidak pernah pulang, dan aku sampai tidak tahu wajah ayahku. Dulu, saat aku lahir ke dunia ini. Ayah ku sedang bertugas di perbatasan sana, dan ibu ku berjuang sendiri" gadis kecil ku pun terkekeh pelan.
"Cerita om lebih menyenangkan, dari pada cerita hidupku yang menyedihkan"
"Eh, jangan begitu. Kamu harus beruntung punya bunda yang sangat hebat. Oh iya, nama mu siapa?"
"Nama ku Lea freya abigail. Panggil saja Lea, atau Eya boleh juga Abi. Banyak kan nama panggilan ku?" Aku tersenyum, senang bisa melihatnya kembali ceria. Mungkin anak yang lainnya sudah mengalami trauma, tapi Lea tetap kuat.
"Hmm....bagus sekali nama mu, cantik seperti wajahnya. Nama panggilan mu terlalu banyak, om bingung mau panggil yang mana?"
"Oh gitu ya, baiklah panggil aku Abi aja om. Aku suk di panggil itu"
"Baiklah aku akan memanggilmu Abi"
"Nama om siapa?"
"Nama saya Ikhsan budi adidharmo"
"Keren namanya"

Aku dan Abi pun masih menunggu bundanya sadar. Tapi sampai sekarang ia belum juga sadar. Abi pun sampai tertidur. Kasihan dia.

~~~~~
Bersambung.....

Gimana nih?

Cinta Si PerwiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang