Bagian 22

2.8K 110 0
                                    

Akp. Dinda B.P pov

Aku duduk di kursi kekuasaanku. Setelah acara bantuan sosaial tadi, aku langsung kembali ke kantor. Di ruangan, aku hanya mengotak-atik laptopku saja. Membosankan memang.

Tok tok tok....
"Masuk"

Mataku tetap berfokus pada layar laptop. Palingan juga anggotaku, yang numpang wifi.
"Dinda, wajah mu kusut sekali. Rindu sama aku ya?" Aku mendongak, ternyata Anata. Ngapain sih dia?
"Ngapain kamu kesini? Pergi.." usirku langsung. Aku memang tidak suka ada Anata.
"Aku rindu dengan mu, kemarin kamu pulang meninggalkan ku. Padahal aku ingin mmeberikan cincin, ini..." Nata menyodorkan kotak berwarna merah padaku. Aku tidak tertarik sedikitpun. Cincin itu lebih pantas di pakai oleh Rani, istrinya Nata.
"Lebih baik, kau berikan pada Rani. Dia lebih pantas mendapatkan ini" aku menatap datar Nata.
"Kamu yakin? Ini berlian Dinda, bukan kah kamu suka dengan berlian?" Aku menggeleng.
"Sudah tidak suka" kataku penuh penekanan.
"Dinda, terimalah...kamu tidak menghargaiku. Aku memesan cincin ini dari jauh-jauh hari. Tapi, kau malah menolaknya"
"Aku tidak peduli Nata, lebih baik sekarang kamu berikan ini untuk Rani....." Nata menarik tanganku dan menyematkan cincin itu.
"Nata! Kau pikir aku bisa menerima yang menjadi hak orang?!" Ku lepas cincin itu, dan memasukan kemabli pada kotak itu.
"Berikan untuk Rani!" Aku berdiri, begitupun Nata.
"Aku dan Rani akan bercerai, ini semua untukmu" aku menggeleng tak percaya.
"Nata jangan berbuat gila ya, bagaimana dengan Fani? Kasihan dia, dia anakmu" lebih baik aku keluar dari ruanganku.

                               ~~~~
Akp. Anata Z. Pov

Ah, Dinda kau sangat sulit di dapatkan. Hanya Dharma yang bisa menaklukan mu. Eh tunggu, si tentara itu juga bisa menaklukan Dinda. Gantengan juga aku dari pada tentara itu. Apa coba kurangnya aku? Ganteng tentu, kaya iya, keren iya. Kenapa Dinda tak mau denganku? Oh iya, aku kan punya istri. Tapi, aku akan menceraikan si Rani. Sejak dulu kami menikah, kami tidak saling mencintai.

"Heh! Bengong aja kau Nata!" Guntur datang mengagetkan ku.
"Mau apa kau kesini? Ganggu saja" jawabku ketus.
"Kenapa sih kau? Ada masalah dengan Rani?"
"Bukan, Dinda menolakku untuk kesekian kalinya. Apa coba kurangnya aku, ganteng iya, kaya iya, keren juga. Kenapa Dinda menolakku?"
"Yah...sudahlah Nata, Dinda itu tidak mencintaimu. Coba kau lihat, sejak zaman taruna dulu, dia tidak pernah mau berpacaran. Dengan Dharma? Mereka hanya bersahabat...Dinda bukan perempuan yang gampang di gait lelaki" jelas Guntur membuatku sedikit sadar, juga kesal.
"Iya...tapi kan tadi aku cuman mau ngasih cincin, buat hadiah ulang tahun dia. Tapi dia menolak mentah-mentah. Aku tahu, itu pasti sebab si tentara itu!"
"Heh! Dengar, Dinda bukan perempuan matre. Harusnya kau tahu bagaimana sifatnya Dinda, kesukaan dia. Lalu kenapa kau marah dengan kedekatan Dinda dengan tentara itu. Harusnya kau senang, bisa melihat Dinda kembali tersenyum. Bukannya malah sirik, ah bodoh kau!" Aku berdiri dan menggebrak meja kekuasaanku.
"Apa maksudmu?! Aku ini mencintai Dinda sejak dulu, sejak pertama kali bertemunya! Aku senang bisa melihat Dinda tersenyum, tapi aku tidak suka karena ia tersenyum karena Mayor itu!" Ku keluarkan kemarahanku. Guntur berdiri dan menatapku tajam.
"Kau boleh mencintai Dinda! Tapi ingat, jangan pernah membuat Dinda bersedih atau marah! Sadarlah kau Nata!" Guntur berjalan keluar dari ruanganku.

Kenapa semua orang di sekitarku tak ingin aku dekat dengan Dinda. Apa mereka juga suka, dan cinta mati pada Dinda? Apa aku ini membuat Dinda marah? Entahlah, yang jelas aku tak akan pantang mundur untuk mendapatkan Dinda. Sebelum janur kuningnya melengkung. Tapi, aku tak akan mengizinkan Dinda di rebut siapapun.

                              ~~~~~
Mayor. Yona P.N pov

Aku sedang duduk bersama Rumi di sebuah kafe di dekat kodam. Rumi meminta penjelasan tentang hubungan kami berdua. Padahal sejak bulan yang lalu, hubungan kami sudah jelas. BERPISAH. Tak ada ikatan apapun, tapi ia memintaku menjelaskannya lagi. Pertemuan ini hanya akan menghabiskan waktu, dan emosi.

"Bang Yona, apa hubungan mu dengan si polwan itu?" Tanyanya hanya ku balas dengan lirikan.
"Bang....jawab aku, jangan kau diamkan aku seperti ini!" Rumi menggoyakkan tanganku, inginku tepis rasanya.
"Kenapa kau seperti ini sih? Toh juga yang menjalani hubungan aku dengan polwan itu. Kenapa kau sibuk mengusik hubungan kami?"
"Kamu bilang aku yang mengusik hubungan kalian, huh? Harusnya aku yang berbicara pada si polwan itu bahwa dia telah merebutmu dari ku!"
"Rumi, sudah cukup! Jangan kau menyalahkannya. Ini juga salahmu Rumi, coba kau fikir. Kalau kau tidak bisa merubah sifatmu, perilakumu. Mungkin aku bisa menjadikan mu sebagai Jalasentariku, tapi apa? Kau malah menyakiti Rara. Selama ini aku sudah di bohongi oleh kemanisan mu Rumi, tapi setelah Rara bercerita aju sadar. Aku salah, sudah pernah menjadikan mu calon istriku" aku menepis tangan Rumi perlahan. Aku tak tega menyakiti wanita.

Benar firasatku, pertemuan ini hanya akan menghabiskan waktu dan emosi. Harusnya aku tadi menolaknya, tapi aku malah mengikuti kemauannya.

                               ~~~~
"Nak, ada apa?" Tanya mama.
"Tidak ma, tidak apa-apa. Rara kemana?"
"Mama tahu, kamu pasti punya beban yang sangat berat. Rara sedang di kamar, dia sedang telpon bersama Lea. Mama senang bisa lihat Rara tertawa" aku menatap mama serius. Rara telponan sama Lea? Berarti ada Dinda dong.
"Ma, ada Dinda kah?" Mama hanya tersenyum dan membawa majalah.
"Mama, Yona beneran nanya mam...." mama hanya terkekeh.
"Kamu benar-benar rindu ya dengan Dinda?" Tanya mama padaku. Aku tak menjawab.
"Ayah..!!" Aku menoleh, ternyata Rara sedang berlari ke arahku. Aku pun menangkap, dan memeluknya.
"Rara kangen ayah"
"Ayah juga, Rara kamu tadi telponan sama dek Lea?" Aku memangku Rara.
"Iya ayah, tadi juga ada bunda Dinda. Bunda Dinda juga nanyain ayah. Katanya, ayah yona kemana? Terus Rara jawab ketemu tante Rumi" ah, mati aku. Kenapa Rara harus jujur begini sih. Semoga Dinda tidak marah.
"Ra..kenapa kamu bilang ayah ketemu tante Rumi, nanti bunda Dinda marah bagaimana?"
"Memang kenapa yah? Memang ayah dan bunda Dinda punya ikatan apa?" Aku bingung mau menjawab apa.
"Ayah, kata guru aku juga nggak boleh bohong. Dosa ayah, sekarang juga Rara sudah tahu apa itu hubungan orang dewasa" ku cium pipinya. Lama-lama anakku kok jadi gini.
"Sudah, Rara nggak boleh ngomong kaya gitu lagi ya! Ayah tidak suka Ra... Oh iya, memang bunda Dinda tidak dinas?"
"Katanya sudah pulang yah, nggak enak badan katanya"
"Hum...baiklah, kamu tidur sana. Ayah mau nelpon bunda Dinda" Rara mengangguk dan bersama mama ke kamarnya. Aku pun mengambil ponselku dan menghubungi Dinda.

Aku menghubunginya lewat panggilan vidio (video call). Saat telpon tersambung, terlihat wajah Dinda.
"Assalamu'alaikum Din.."

"Wa'alaikumsalam, ada apa?"

"Kamu kenapa? Cemberut gitu" padahal aku tahu, dia cemburu karena aku bertemu dengan Rumi.

"Kamu ketemu sama Rumi lagi?"

"Iya, dia yang minta..."

"Hum...iya"

"Kamu cemburu?" Dia mengangguk.

"Aku minta maaf, aku dan Rumi benar sudah tidak ada hubungan apa-apa. Kamu percaya?"

"Aku percaya sama kamu, tenang aku nggak akan bunuh diri karena kamu ketemu Rumi kok. Itu cuman menyia-nyiakan nyawa saja. Masih ada Lea yang butuh aku"

"Dinda, jangan bicara seperti itu. Kalau kamu marah, marah saja padaku. Jangan berbicara seperti itu" dia hanya mengangguk.

"Masih marah?"

"Nggak kok, udahan ah..marahnya. Capek"

"Kamu kata Rara nggak enak badan? Sudah makan?"

"Sudah tadi, cuman kecapean saja. Kamu sendiri?"

"Sudah, Din...aku kangen"

"Alay!!" Dinda pun terkekeh.

"Bang sudah ya, mau ganti dulu"

"Ganti? Ganti apa Din?"

"Nanti kamu juga tahu bang, bye! Asalamu'alaikum"

"Wa'alaikumsalam"

Ada apa dengan Dinda? Maksudnya 'ganti' itu ganti apa? Ah, sudahlah. Aku sudah lega, Dinda bukanlah tipe wanita yang kalau cemburu bisa ber-abad.

~~~~~
Bersambung...

Biye, biye..
Besok upacara ya, hari kemerdekaan kita semua...

Cinta Si PerwiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang