9

4.6K 708 59
                                    

(Namakamu) menggigit bibir bawahnya dengan sedikit gentar saat Iqbaal mengeluarkan ucapan-ucapan tegasnya, ia baru kali ini merasa takut akan kemarahan pria. Iqbaal merasakan emosinya sedikit tidak terkendali akibat pikirannya yang kalut mengenai rencananya yang ingin mendekati (Namakamu), dan istirahatnya yang kurang.

"Kamu sudah obati luka ini?" tanya Iqbaal dengan suaranya yang mulai ia rendahkan.

(Namakamu) menggelengkan kepalanya dengan pelan, ia masih takut. "Gue biasanya kalau luka memang dibiarin, nanti sembuh sendiri," jawab (Namakamu) dengan lirih.

Iqbaal mengangkat wajah (Namakamu) dengan lembut, (Namakamu) menatap Iqbaal dengan tatapannya yang sedikit takut, mereka sangat dekat. "Aku obati, ya?" bisik Iqbaal tepat di hadapan (Namakamu).

(Namakamu) mengangguk dengan patuh, Iqbaal tersenyum sembari mengusap singkat pipi rona merah itu. "Biar aku ambil peralatan obat kecilku di dalam mobil. Tunggu di sini, ya," lanjut Iqbaal sembari tersenyum manis kepada (Namakamu).

(Namakamu) menganggukkan kepalanya dan merasakan tangannya diusap lembut sebelum Iqbaal pergi menjauh, (Namakamu) menundukkan kepalanya merasakan jantungnya berdetak kencang. Ada apa dengan dirinya?

"(Namakamu)." (Namakamu) yang terdengar namanya dipanggil membuatnya mengangkat kepalanya, ia sedikit terkejut melihat Nada menatapnya dengan bingung sembari membawa bekal yang telah ia siapkan.

"Lo kenapa sama Iqbaal? Kok serius gitu mukanya Iqbaal? Ada masalah, ya?" tanya Nada yang kini mengambil posisi di samping (Namakamu).

(Namakamu) lupa jika Nada ada di sini, apa Nada akan salah paham dengan dirinya?

"Bukan masalah yang serius kok, Nad. Lo taulah Iqbaal seorang Dokter, terus dia kaya kasih nasehat kalau luka-luka kaya gini harus dibersihin cepat, nanti bisa parah kalau gak dibersihin cepat," jawab (Namakamu) dengan senyumannya yang menenangkan.

Nada memukul bahu (Namakamu), (Namakamu) terkejut. "Gue juga marah kali! Lagian luka pakai dibiarin, ya ngambek lah! Jangankan luka, cowok juga kalau dibiarin tanpa kabar, dia juga bisa ngambek kali! Bego, sih," omel Nada dengan suaranya yang imut.

(Namakamu) memutar kedua bola matanya saat mendengar omelan Nada, ia lebih baik diam daripada melawannya.

Tak begitu lama, Iqbaal kembali dengan peralatan obat sederhananya. Nada hanya menyipitkan kedua matanya ke arah (Namakamu), (Namakamu) melihat Iqbaal yang juga menatapnya.

"Obatin aja dulu, Baal. Gue mau ke mobil bentar ngambil hp di sana. Mobilnya masih kebuka, kan?" tanya Nada yang mulai berdiri dari duduknya.

Iqbaal yang sejak tadi menatap (Namakamu) kini mengalihkan pandangannya ke arah Nada, ia pun menganggukkan kepalanya. "Nih.. kuncinya," ucap Iqbaal sembari memberikan kunci itu kepada Nada.

Nada tersenyum sembari menarik rambut (Namakamu), (Namakamu) meringis kesal ke arah Nada, Nada tertawa sembari berlari ke luar rumah (Namakamu). Iqbaal pun mengambil posisi duduk di hadapan (Namakamu). Ia meletakkan peralatan obatnya di atas meja ruang tamu itu dengan tatapannya kepada (Namakamu).

Iqbaal dengan lembut membawa tangan (Namakamu) ke dalam pangkuannya, ia mulai membukan peralatan obatnya. "Luka kamu yang satunya juga belum terlalu sembuh, ini ditambah luka baru. Kamu suka mengoleksi luka, ya?" tanya Iqbaal dengan lirikannya ke arah (Namakamu). Tangannya sibuk membersihkan luka gadis itu.

"Bagi gue, ini luka kehormatan. Ini adalah kerja keras gue dalam menggeluti hobi gue, jadi wajar-wajar aja luka," jawab (Namakamu) dengan pelan.

Iqbaal mulai memberikan salep ke dalam luka itu, (Namakamu) meringis pedih. Iqbaal memberhentikannya, ia menatap (Namakamu) yang meringis pedih. "Luka itu tidak ada hormat-hormatnya, yang ada cuma sakit, perih, dan mengganggu. Skate board boleh, tapi bisa jaga diri. Percuma ahli, kalau kamu susah untuk jaga diri."

SANG PENGGODATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang