Iqbaal merendahkan tubuhnya di atas gundukkan tanah yang kini telah ditumbuhi oleh rumput-rumput hijau, Iqbaal meletakkan sebuket bunga warna-warni tepat di samping batu nisan itu, Iqbaal mengusap batu nisan itu dengan lembutnya.
"Maafin saya, Nada."
Hanya itu yang dapat ia katakan ketika ia kembali berkunjung ke makam ini, Iqbaal dan segala kesalahannya membuat dirinya tertutup. Ia menjadi seorang yang tidak diketahui lagi, tidak ada siapapun yang bisa menyentuhnya, tidak ada.
Ia mengusap batu nisan itu dengan keheningan yang melanda, ia menatap batu nisan itu dengan tatapannya yang sedih.
Ponselnya berdering membuat Iqbaal melepaskan usapan itu, ia mengangkat panggilan itu sembari melihat jam di pergelangan tangannya.
"Kenapa?" tanyaa Iqbaal dengan suaranya yang berat.
"Ada pasien yang mendadak akan di operasi, cepat ke sini."
Iqbaal menghela napasnya dengan pelan, ia pun tanpa basa-basi mematikan panggilan itu. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya, ia kembali mengusap batu nisan itu dengan lembut.
"Saya harus pergi. Besok.. saya akan kembali ke sini." Iqbaal mengusap dengan lembut batu nisan itu sebagai salam perpisahannya untuk hari ini.
Iqbaal bangkit kemudian meninggalkan kuburan itu dengan rasa menyesal yang tak akan pernah hilang seumur hidupnya.
**
'Dan tak seharusnya aku bertemu dirimu di dunia ini.'
**
Iqbaal menutup pintu mobilnya setelah ia memarkirkannya di tempat khusus, lalu ia menguncinya.
Ia mengabaikan ponselnya sejak tadi bordering, dirinya selalu mengabaikan itu. Pintu gedung rumah sakit ini terbuka secara otomatis, Iqbaal kembali melanjutkan perjalanannya menuju ruangannya yang berada di lantai 5.
Tak perlu waktu yang lama, Iqbaal pun berdiri di depan lift khusus untuk para dokter yang memang untuk keadaan darurat, tetapi Iqbaal tidak seperti sedang dalam keadaan darurat.
Iqbaal menekan tombol tanda ke atas, lalu ia mundur sedikit untuk menunggu kedatangan lift-nya itu.
Wajahnya seperti biasa, dingin dan tidak ada tanda keramahan di sana.
Lengan baju kemejanya telah dilipatnya hingga ke sikutnya, lalu rambutnya yang tebal itu terlihat berantakan, ia tidak merapikan dan bahkan tidak memperdulikannya. Iqbaal seakan-akan manusia yang tidak dapat tersentuh oleh siapapun. Dia hanya terlihat rapuh saat sudah mengunjungi makam Nada.
Lift pun akhirnya turun ke lantai yang sekarang tempat dia berdiri. Iqbaal pun bersiap untuk masuk ke dalam lift tersebut, pintu terbuka, ia pun berjalan masuk ke kotak bergerak itu.
Ia pun menekan angka tujuannya kemudian saat lift hendak menutup, seseorang menahannya agar lift tersebut terbuka kembali. Iqbaal sedikit mengernyitkan dahinya saat melihat pintu lift itu kembali terbuka.
"Bang.. hah.. serius..gue ngejarnya kejauhan... akhirnya ... haah.."
Iqbaal terpaku, ia mematung, ia benar-benar tidak dapat merespon apapun.
(Namakamu) Xena, gadis yang membuat dirinya seperti ini. Diumurnya hampir 32 tahun, ia bertemu dengan gadis itu.
"Apa kabar, Bang?"
Dan satu hal yang ingin ia lakukan adalah memeluk gadis itu.
"(Namakamu), kamu kembali?"
**
Iqbaal melepaskan semua jadwal padatnya demi bertemu dengan (Namakamu) pada saat ini, ia meluangkan semua waktunya.
(Namakamu) tersenyum melihat wajah lelaki itu, wajah itu masih tetap tampan bahkan semakin tampan. Kini, lelaki itu semakin terlihat dewasa sekarang.
"Udah lama ternyata kita nggak ketemu." (Namakamu) membuka pembicaraan setelah cukup lama mereka saling menatap.
Iqbaal membasahi bibir bawahnya dengan pelan, laluu ia menyunggingkan senyuman tidak mengertinya.
"Aku menunggu saat-saat ini, saat di mana kamu bertanya bagaimana keadaan aku, dan sudah berapa lama kita tidak bertemu. Kamu ke mana saja setelah pemakaman Nada berakhir?" Iqbaal benar-benar mengeluarkan pertanyaan itu setelah beberapa tahun menghantuinya.
(Namakamu) tersenyum,"gue sekolah, gue menata masa depan gue."
Iqbaal tertawa kecil saat mendengar itu, ia benar-benar ketawa.
(Namakamu) masih tersenyum walau itu kecil.
"Ini hidup aku, ini penderitaan aku, ini takdir aku, dan ini masa depanku. Kamu kira aku bodoh, (Namakamu)? Pergi karena sekolah, karena ingin menata masa depan. Kenapa nggak sekalian kamu bilang kalau kamu menghukum aku dengan cara kamu menjauh? Gini.. kalau kamu memang membenci aku, lebih baik bunuh aku secara langsung daripada harus seperti ini. Lebih sakit menunggu seperti ini dengan perasaan yang masih sama. Aku bodoh.. aku selalu berharap itu akan tiba!" Iqbaal hampir saja berteriak kencang di sini.
(Namakamu) masih diam dengan senyumannya.
"AKU SETIAP MALAM MENANGIS MENYESAL KARENA SEMUA INI. AKU DITOLAK, AKU DIBUANG KARENA PERASAAN INI, AKU HARUS BERKORBAN, AKU HARUS MENUNGGU, SEKARANG AKU BERTANGGUNG JAWAB AKAN KEMATIAN NADA SEUMUR HIDUPKU. KENAPA KAMU NGGAK BUNUH AKU SAJA SEKARANG, (NAMAKAMU)? AKU CAPEK! AKU CAPEK MENANGGUNG SEMUA INI!" teriak Iqbaal yang diiringin dengan tendangan mejanya.
(Namakamu) melihat Iqbaal menangis, ia menangis karena beban ini.
"Dan kamu kembali karena apa? Karena ingin menambah bebanku?" isak Iqbaal pelan.
(Namakamu) berdiri dari duduknya, ia berjalan ke tempat Iqbaal. (Namakamu) menatap Iqbaal yang benar-benar tidak tahan untuk menahan airmatanya.
"Aku kembali untuk membalas semua beban kamu. Aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini, Bang. Sahabatku pergi tanpa pamit, menahan rasa cintaku yang takut melukai, dan memaafkan semua kondisi pada saat itu. Di sini, kita sama-sama menunggu... menunggu waktu untuk menghapus kenangan buruk itu. Maafkan aku yang selalu membuat abang menunggu lama.. maaf.."
Iqbaal berdiri dari duduknya, ia menarik (Namakamu) ke dalam pelukannya. Ia menangis di sana, memeluknya dengan erat.
Ia masih mencintai gadis ini, (Namakamu) Xena.
"Maaf..maaf.."
**

KAMU SEDANG MEMBACA
SANG PENGGODA
FanfictionCover by: @-Ventum Kenapa Tuhan mempertemukan kita di dalam kondisi seperti sekarang? Jika memang karena bersatunya kita membuat seseorang terluka, bukan kah lebih baik kita pisah?