20

6.2K 702 65
                                    

(Namakamu) menghembuskan napasnya dengan pelan kemudian mulai mengetuk pintu kamar Nada.

"Nada, ini gue, boleh gue masuk?" ucap (Namakamu) dengan suaranya yang terdengar lembut.

(Namakamu) mencoba menunggu suara Nada untuk mempersilahkannya masuk ke dalam kamarnya, namun suara yang ia tunggu tidak ada menyahut. (Namakamu) kembali mengetuk pintu kamar Nada, sedikit ia keraskan.

"Nad.."

(Namakamu) kembali menunggu, ia menunggu suara Nada untuk mempersilahkannya masuk. Tetapi yang ia tunggu hanyalah keheningan di dalam itu. (Namakamu) menundukkan kepalanya, Nada benar-benar marah kali ini. (Namakamu) menggigit bibir bawahnya dengan sedih, ia tidak ingin ada perselisihan antara dirinya dan Nada.

"Kalau lo memang butuh sesuatu, gue akan selalu ada untuk lo, Nad. Gue akan selalu datang untuk lo, dan gue akan cepat datang hanya untuk lo." (Namakamu) menatap pintu kamar Nada dengan rasa sedihnya, ia benar-benar sedih ketika Nada marah.

(Namakamu) membalikkan tubuhnya untuk pulang ke rumahnya. Ia memegang erat tali tasnya sembari menundukkan kepalanya, ia berjalan menuju pintu rumah utama Nada.

"(Namakamu)."

(Namakamu) mengangkat kepalanya sembari memutari tubuhnya untuk menghadap ke arah sumber suara yang memanggil namanya.

"Iya, Bik?"

Bibik Yani adalah seorang pembantu di rumah Nada. Wanita paruh baya ini sangat mengenal dirinya dan Nada, ia layaknya orang tua kedua mereka. (Namakamu) tersenyum melihat bik Yani menghampiri dirinya.

"Bibik ada kunci serap untuk kamar Nada, kamu mau masuk?" tanya Bik Yani dengan logat sundanya.

(Namakamu) melirik ke arah kamar Nada dengan sedih, ia pun menggelengkan kepalanya. "Nada lagi butuh sendiri, Bik. Jadi, (Namakamu) tunggu kabar dari dia aja, Bik."

Bik Yani meremas kedua tangannya dengan raut wajah gelisah, "Bibik khawatir dengan Nada, (Namakamu). Tadi setelah dia masuk ke kamar, Bibik dengar suara pecahan kaca di dalam. Bibik mau masuk ke kamarnya, tapi Bibik ada telepon dari kampung. Coba kamu cek, pakai kunci serap ini, takutnya Nada ceroboh jatuhi sesuatu dan bikin dia luka," jelas Bik Yani dengan pelan.

(Namakamu) yang melihat raut wajah khawatir wanita paruh baya itu pun membuatnya mengambil kunci serap kamar Nada, ia tersenyum menenangkan. "(Namakamu) cek dulu ya, Bik," balas (Namakamu) dengan senyumannya.

Bik Yani menganggukkan kepalanya, ia kembali berjalan ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya. (Namakamu) menatap kunci serap itu kemudian menganggukkan kepalanya untuk menekatkan dirinya memasuki kamar Nada. Lagi pula, ia juga ingin menjelaskan sesuatu kepada Nada.

(Namakamu) berjalan menuju pintu kamar Nada, lalu setelah ia sampai di depan pintu kamar itu, (Namakamu) mencoba memasuki kunci serap itu, tetapi terhalang oleh kunci kamar Nada di dalam sana.

(Namakamu) mencoba memasukinya secara paksa, walau butuh waktu cukup lama, kunci serap itu akhirnya dapat masuk. Terdengar suara kunci kamar Nada jatuh ke lantai.

(Namakamu) mulai membukanya dengan pelan, lalu pintu itu terbuka.

Hal yang pertama ia lihat adalah titik-titik darah kering di lantai kamar Nada, (Namakamu) mulai berjalan memasuki kamar Nada dengan tatapannya mulai berkaca-kaca, ia melihat bingkai foto itu tergeletak begitu saja di lantai, serpihan kaca berserak di lantai dengan darah-darah kering itu.

(Namakamu) menggelengkan kepalanya dengan pelan, ini nggak mungkin.

"Nad.. kenapa ada darah, Nad? Lo nggak apa-apa, kan?" (Namakamu) mulai berjalan menuju tempat tidur Nada. Darah itu seperti jejak kaki, ia mengikuti si pemilik darah berhenti. (Namakamu) melihat darah itu semakin banyak bercecer di samping ranjang Nada.

SANG PENGGODATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang