Prolog

33 4 0
                                    

Langit biru yang cerah yang disertai sedikit awan putih setia menemaniku yang tengah menikmati keindahan pemandangan laut di hadapanku.

Aku sangat ingat, saat itu adalah kencan pertamaku dengan Johan sebagai kekasih.

Rasanya tak mungkin kulupakan. Suara desiran ombaknya, kesejukan udaranya, dan aroma khas pantai yang menyebar ke sekitar area tersebut.

Beberapa kali, aku harus memegangi topiku ketika angin keras menerpa diriku.

Aku masih menikmati ketenangan di sekitarku ketika aku tiba-tiba dikejutkan oleh rasa dingin yang tiba-tiba menyerang pipi kiriku.

"Gyaah!" teriakku kaget karenanya.

"Hahaha! Kaget, ya?" Johan, yang merupakan orang yang telah menempelkan kaleng beku itu ke wajahku tertawa ceria.

"Huh! Bikin kaget aja, sih!" gerutuku.

Johan masih terkekeh. "Maaf, maaf. Habisnya kamu ngelamun melulu, sih..." ujarnya sambil membukakan satu kaleng minuman untukku.

Aku merengut dan mengambil kaleng itu dari tangannya.

Johan tersenyum lebar dan membuka satu kaleng lagi untuk dirinya sendiri.

Aku terdiam selama beberapa saat. "Eh, Johan." Panggilku kemudian.

"Hm." Gumamnya menanggapi. "Kenapa?"

"Aku pingin nanya sesuatu ke kamu."

"Apa itu?"

"Em... kamu masih ingat nggak, soal kata-kataku tentang tiga hal yang paling berharga waktu itu?"

"Inget, kenapa?" Johan mengernyit bingung.

"Aku cuman penasaran aja. Soalnya, posisimu sekarang ada di urutan keempat, lho. Apa kamu nggak keberatan?" tanyaku agak sungkan.

Johan terkikik menanggapi pertanyaanku.

"Hei, aku nanyanya serius, tau! Malah ketawa!" aku reflek memukul lengan atasnya.

"Sorry. Habis... pertanyaanmu lucu banget, sih..." katanya santai.

Aku mendengus kesal melihat ekspresinya.

Johan lalu kembali meneguk minumannya dan berkata, "Aku nggak keberatan, kok. Lagian, aku tau kalau aku nggak akan pernah bisa ngalahin yang 'Pertama'. Jadi, buat apa aku repot-repot mikirin itu?"

Aku menatapnya tidak percaya. "Serius?"

"Serius." Ujarnya mantap. Yang secara tak langsung membuatku kagum padanya. "Lagian, ya. Aku bener-bener yakin. Nanti, kalau kita sudah nikah, aku pasti langsung naik pangkat jadi ke urutan yang kedua."

Aku sekali lagi memukul lengannya. "Pede banget, sih!"

Johan hanya tertawa santai. "Tapi, emang bener, 'kan? Kalau perempuan yang sudah menikah itu harus mementingkan suaminya."

"Lulus SMA aja belum, malah bahas soal nikah! Dasar cowok mesum!"

Tapi, entah mengapa, Johan justru tertawa riang menanggapi semua omelanku. Seolah-olah semua kemarahanku adalah hiburan tersendiri bagi dirinya.

Dan enam bulan pun berlalu sejak saat itu...

***

--Tbc--

Warna ( When Your Heart Full of Fear )2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang