Bab 2-part a

4 2 0
                                    

Jam dinding sudah menunjukkan pukul empat sore. Namun, diriku hanya bisa bergelung dalam selimutku.

Rambutku yang basah, kubiarkan begitu saja merembeskan airnya membasahi bantalku. Membuat sensasi dingin memenuhi kepalaku. Tapi aku tak peduli.

Kejadian beberapa menit yang lalu telah membuatku begitu ketakutan.

Saat itu, aku baru saja keluar dari kamar mandi. Hari masih siang, dan suhu di sekitar rumah masih sangat panas. Ditambah keringat yang memenuhi diriku membuatku merasa amat ingin membersihkan tubuhku.

Namun, ketika aku masuk ke dalam kamarku, aku segera mendapati HP-ku tengah berdering. Awalnya, aku berpikir jika yang menelpon itu adalah Mama atau Johan—karena selama ini hanya mereka yang sering menelponku—namun, semua pemikiran itu langsung kutepis ketika aku mendapati bukan mereka yang menelponku.

Aku sedikit ragu untuk mengangkatnya. Namun, karena dering itu tak kunjung berhenti, aku dengan terpaksa mengangkatnya. Akan tetapi, ketika aku mendekatkan layar pipih itu ke telingaku, tidak ada suara yang terdengar.

Aku sudah memastikan apakah panggilan itu dimatikan atau tidak. Dan hasilnya, panggilan itu masih menyala. Orang yang menelponku masih di tempatnya.

Awalnya aku biasa saja menanggapinya. Dan memilih untuk mematikan telepon itu karena beranggapan jika itu adalah ulah penelpon usil atau panggilan salah sambung. Namun, anehnya nomor tak dikenal itu kembali menelponku setelah beberapa saat setelah aku mematikan telponnya.

Aku pun kembali mengangkatnya. Namun hasilnya tetap sama.

Sama sekali tak ada suara di seberang sana.

Perlahan namun pasti, rasa takut mulai memenuhi diriku. Lalu, seiring berjalannya waktu, panggilan tanpa suara itu terus menghantuiku. Sehingga aku menjadi ketakutan setiap kali menatap layar HP-ku.

Hingga akhirnya HP-ku kembali berdering.

Dengan ragu-ragu, aku meraih benda pipih itu. Dan menatap nama yang tertera di layarnya.

Johan.

Entah bagaimana, hatiku terasa tenang hanya dengan menyebutkan namanya saja. Seolah-olah ada sebuah cahaya yang menerangi kegelapan yang menyelimutinya. Dengan cepat, aku mengangkat panggilan masuk itu.

"Halo?"

"Halo. Gemilang, kamu nggak papa?" tanya Johan tanpa basa-basi.

"Aku nggak papa. Kenapa kamu tiba-tiba nanya begitu?" pertanyaan bodoh itu terlanjur keluar dari dalam mulutku. Padahal seharusnya aku sudah tahu apa jawabannya.

Johan menghembuskan napas lega. "Nggak, aku cuman dapat firasat buruk aja."

Sesuai dugaan. Firasat Johan memang sangat akurat jika bersangkutan dengan diriku.

Aku ingat. Dulu, kejadian yang sama pernah terjadi.

Saat itu, Kak Ryan datang menginap di rumahku dan sibuk menggangguku. Lalu, ketika air mataku mulai menetes, telepon dari Johan langsung menyelamatkanku.

Yang lebih hebatnya lagi, setelah aku mengatakan padanya jika Kak Ryan telah menggangguku, dia langsung datang menemuiku dan ngotot ikut menginap. Dengan alasan dia tidak bisa tenang jika membiarkanku sendiri bersama dengan laki-laki yang lebih sering membuatku menangis.

Untung saja saat itu Paman dan Bibi tidak ada di rumah. Jika tidak, aku yakin, mereka pasti sudah diusir oleh Paman dengan kasar.

"Gemilang?" panggil Johan. Yang kemudian menyadarkanku dari lamunanku.

"Ya?" sahutku.

"Kamu ngelamun, ya?"

Aku menggigit bibir bawahku. "Hm." Gumamku mengiyakan.

Warna ( When Your Heart Full of Fear )2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang