"Oh, iya. Apa kamu bakal ngomong ke Pamanmu soal camping itu?" tanya Johan ketika kami tiba di depan pintu gerbang rumahku.
Aku merengut. Karena dia baru saja mengingatkanku tentang hal yang merepotkan. "Aku nggak tau. Mungkin itu bakal agak sulit..." gumamku.
"Mau kutemenin? Barang kali Pamanmu mau ngijinin kamu kalau begitu."
"Nggak usah." Tolakku halus. "Aku nggak mau terus-terus bergantung sama kamu."
"Yakin?"
Aku mengangguk mantap. "Yakin. Tenang aja, aku pasti bisa ngebuat Paman ngijinin aku."
"Ya udah kalau gitu." Dia kemudian mengangkat kepalan tangannya. "Fighting!"
Aku tertawa geli melihat tingkahnya. Dia pun begitu.
"Nah, aku balik dulu, ya?" ujar Johan sambil menyiapkan helmnya.
"Iya. Hati-hati, ya." Aku melambaikan tanganku.
Dia membalas lambaianku dengan senyuman lebar. Lalu, ketika dia hendak memakai helmnya, dia tiba-tiba berseru, "Oh, iya! Ada yang kelupaan."
"Apa?" aku reflek bertanya.
Johan tanpa suara kembali melambaikan tangannya kepadaku. Sebagai isyarat untuk mendekatinya.
Aku menurutinya tanpa banyak pikir. Kemudian, ketika aku sudah ada di sampingnya, Johan dengan cepat mendaratkan sebuah ciuman ke pipiku. Membuatku mematung selama beberapa saat seperti orang linglung.
"Itu." Johan berkata pelan.
Aku mengerjapkan mataku berulang kali. Mengembalikan semua kesadaranku ke tempatnya semula. Lalu, ketika aku berhasil, aku menyadari jika Johan baru saja mencuri kesempatan untuk menciumku lagi.
"Iih! Kebiasaan, ah!" aku berseru sambil memukul-mukul pundaknya.
Johan tertawa lepas melihat tingkahku. "Maaf, maaf. Habis, pipimu itu nagih banget, sih!"
"Dasar raja gombal!"
"Tapi kamu cinta, 'kan?"
Aku sukses terdiam. Dia memang sangat pandai membungkamku dengan kata-katanya.
"Udah. Sekarang, lebih baik kamu masuk ke rumahmu. Aku nggak mau wajah manismu itu diliatin sama orang banyak." Johan mencubit pipiku gemas.
"Huh, iya, iya. Aku masuk sekarang." Ujarku kesal.
Johan tersenyum. "Kalau begitu, aku pergi dulu."
Aku mengangguk.
"Nanti kutelpon waktu aku sampai di rumah, ya." Ujarnya sebelum melajukan motornya.
"Iya. Bye!" aku melambaikan tanganku penuh semangat ke arah dirinya yang mulai menjauh.
Johan membalas lambaianku tanpa menoleh.
Aku pun menurunkan tanganku, lalu membuka pintu gerbang dan berjalan masuk ke halaman. Entah bagaimana, hari ini terasa amat menyenangkan bagiku.
Akan tetapi, saat itu aku belum menyadari. Jika telah ada suatu masalah yang menantiku di masa yang akan datang.
***
Sungguh, belakangan ini, aku merasa jika hari-hariku terus berlalu dengan cepat.
Rasanya seperti baru sejam yang lalu aku berusaha meyakinkan Paman untuk mengijinkanku mengikuti kemah yang diadakan oleh Dedi dan Anis untuk liburan. Tapi, sekarang aku telah berada di titik tempat kami berjanji untuk berkumpul sebelum ke lokasi kemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna ( When Your Heart Full of Fear )2
Teen FictionSetelah melalui berbagai macam rintangan, akhirnya Johan dan Gemilang berhasil menemukan kebahagiaan mereka. Dimana hanya ada cinta di antara keduanya. Namun, ketika mereka berpikir masalah telah selesai, sang Takdir kembali menguji mereka. Satu per...