Bab 6

6 1 0
                                    

Setelah menanti sehari penuh, aku dan Johan akhirnya resmi bertunangan.

Sesuai permintaan Mama, acara pertunangan itu diadakan di rumah Johan. Meski awalnya Paman ingin mengadakannya di rumahnya. Tapi, Mama bersikeras untuk mengadakannya di rumah calon menantunya.

Dan tentu saja, itu akan mempermudah teman-temanku untuk menghadiri acara tersebut. Namun yang menyebalkan adalah: yang hadir bukan hanya teman-teman ekskulku saja. Melainkan murid-murid kelas XI F IPA juga ikut. Yah, meski hanya beberapa orang saja.

Tentu saja, Kak Riannalah yang mengundang mereka semua.

Untung saja mereka tidak berkunjung terlalu lama. Sehingga aku dapat menikmati waktu penuh ketenangan bersama Johan.

Dan di sinilah kami sekarang. Berdua di ruang tamu dan asyik membuka satu per satu bungkusan kado yang telah diberikan oleh para tamu.

Keluargaku telah kembali ke rumah sekitar 30 menit yang lalu. Dan Ayah Johan juga harus segera berangkat ke bandara untuk kembali ke Amerika agar bisa menemani Ibu Johan yang tengah mengandung anak ketiga mereka.

Benar. Johan sebenarnya adalah anak kedua dari pasangan suami-istri Bramwell. Anak pertama mereka telah meninggal sejak sepuluh tahun yang lalu. Menurut Johan, dia meninggal karena menderita penyakit parah—aku tidak tahu penyakit apa itu. Dan dia juga tidak pernah mau membahasnya. Selain itu, aku juga tidak ingin membuatnya sedih karena mengingat masa lalu kelamnya. ( Baca Warna 1 )

Tetapi, entah mengapa, Johan tampak tidak begitu bersemangat meski kami telah membuka hampir sebagian dari kado-kado itu.

"Kamu kenapa?" tanyaku heran.

Johan terdiam sejenak. Lalu menoleh dengan bibir ditekuk. "Aku nyesel nggak ngambil foto kamu pas pakai kebaya tadi. Padahal waktu itu kamu keliatan cantik banget..." ujarnya sedih. "Huh... ini semua gara-gara tamunya kebanyakan yang dateng. Jadi nggak sempet, deh."

Aku mau tidak mau melongo heran mendengar ucapannya. Kemudian, setelah mengembalikan seluruh kesadaranku kembali, aku langsung mendaratkan sebuah cubitan ke lengannya.

"Aduh!" Johan mengaduh kesakitan.

"Kamu ini! Bisa nggak, sehari aja nggak mikirin yang mesum-mesum?" tanyaku geram.

"Kayaknya nggak bisa, deh, kalau sama kamu..." Ujarnya dengan menyungging senyuman lebar.

Sekali lagi, aku mencubitnya. "Dasar! Belum nikah aja udah mesum, gimana kalau udah nanti?"

Johan tersenyum simpul dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. "Ya pastinya semua pikiranku bakal jadi kenyataan, dong!"

Reflek, aku langsung melayangkan beberapa pukulan keras ke bahunya. Sungguh, apanya yang tidak akan mengerjaiku lagi? Dia sekarang justru semakin menyebalkan.

"Udah, udah. Aku ngerti... aku nggak bakal bilang kayak begitu lagi, deh..." Johan menahan pergerakan tanganku di udara.

Aku tidak menghiraukannya dan mencoba melepaskan tanganku dari genggamannya.

"Jangan marah lagi, ya sayang..." Johan menarik kedua tanganku dan menempelkannya ke dadanya. Tanpa sedikit pun melonggarkan genggamannya.

Pantesan aja dia bisa mukul orang sampai babak belur... batinku merutuki kekuatannya. Tenaganya kuat amat!

"Iya. Iya. Aku nggak bakal marah lagi." Ujarku kesal. "Lepasin tanganku sekarang."

"Nggak mau, ah. Gemilangnya aja masih cemberut, tuh." Sungguh, laki-laki ini membuatku marah.

Warna ( When Your Heart Full of Fear )2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang