Tepat beberapa menit setelah aku menelpon, Johan dan Kak Ryan telah berdiri di sisi ruangan dengan posisi satu kaki diangkat dan tangan yang saling menjewer satu sama lain.
Di depan mereka, ada Kak Rianna yang tengah duduk dengan kaki yang disilangkan dan alis ditekuk.
Sementara aku menatap mereka dengan duduk memeluk lutut di kasurku.
"Oke, apa kalian sudah kapok sekarang?" tanya Kak Rianna dingin.
"Sudah Rin." Jawab mereka serempak.
"Apa kalian tau apa kesalahan kalian?"
"Iya." Keduanya masih kompak.
"Masih mau ngulang lagi?"
"Nggak." Sungguh, mereka membuatku ingin tertawa karena kekompakkan mereka.
"Bagus. Kalau begitu, hukuman kalian kukurangi. Kalian harus berdiri di sana satu menit lagi." Kak Rianna berkata sambil melirik ke arah jam tangannya.
"Lho? Kok begitu, sih, Rin?" seru Kak Ryan tidak terima.
"Ngebantah, kutambah jadi satu setengah menit."
Johan langsung melotot ke arah Kak Ryan, dan terus menggerakkan bibirnya menyalahkannya karena memperburuk keadaan.
"Saling melotot, kutambah jadi dua menit."
"Hei! That's not fair! ( Itu tidak adil! )" seru Johan cepat.
Kak Ryan tanpa ragu menertawakan kelakuan Johan.
"Ngetawain yang lainnya, kutambah jadi tiga menit!"
"Sialan lo, Rin!" gerutu Kak Ryan.
"Ngumpat adiknya sendiri, kutambah—"
"Oke! Oke! Kita minta ampun, Rin!" potong keduanya kompak. Sepertinya keduanya benar-benar putus asa.
Aku mau tidak mau menutup mulutku agar tidak tertawa terlalu keras.
"Gemilang! Kamu, kok jahat banget, sih? Masa', Kakak sama pacar sendiri dihukum malah diketawain?" keluh Kak Ryan. Yang lalu diikuti oleh Johan dengan menunjukkan wajah cemberutnya padaku.
"Biarin! Salah kalian sendiri bikin ulah!" aku menjulurkan lidahku.
Mereka sukses terbungkam. Lalu saling menatap satu sama lain dengan mempertahankan ekspresi cemberutnya.
"Hei, kenapa lo bisa tahan pacaran sama Godzila itu, sih?" tanya Kak Ryan yang telah memutuskan untuk menggunakan bahasa 'elo gue' pada Johan.
"Mana gue tau! Lo sendiri, kenapa sering banget mancing amarahnya biar pun udah tau kalau dia Godzila?"
"Jahat banget, sih!" seruku sambil melempar keduanya dengan bantal. Membuat keduanya terjatuh ke lantai karena posisi berdirinya yang tidak seimbang. Kemudian merebahkan diriku ke atas kasur dengan memeluk Jo erat. Tanpa memedulikan mereka yang mengaduh kesakitan.
Hingga kemudian HP-ku kembali berdering. Membuatku terbelalak dan spontan menatap layar pipihnya.
Air mata nyaris jatuh dari sudut mataku ketika mendapati nomor yang terus menerorku seharian ini kembali tertera di sana.
Dengan cepat, aku menyibak selimutku. "Jo-Johan!"
Johan yang mengerti maksud panggilanku, segera baranjak dari tempatnya dan menghampiriku.
Lain halnya dengan kedua kakak sepupuku. Mereka hanya melihat kami dengan tatapan bingung.
"Biar aku yang angkat..." bisik Johan saat mengambil smartphone itu dari tanganku lalu berjalan keluar kamar.
"Gemilang, kamu kenapa?" tanya Kak Rianna ketika melihatku meringkuk di atas kasurku.
Aku hanya diam dan menggeleng pelan. Berusaha menenangkan diriku yang mulai gemetaran.
Kak Ryan dan Kak Rianna hanya bisa saling menatap dalam diam.
Lalu, setelah beberapa saat, Johan membuka pintu kamar dan berjalan masuk dengan wajah yang ditekuk. Yang segera kumengerti bahwa itu adalah pertanda jika si penelpon misterius itu masih melakukan hal yang sama seperti sebelumnya.
"Gi-Gimana?" tanyaku ketakutan.
Johan diam membisu. Dan menggeleng pelan untuk menanggapi pertanyaanku. Lalu duduk di sisi tempat tidur dengan gusar.
"Hei, kalian itu sebenarnya kenapa, sih?" tanya Kak Rianna bingung.
Tapi, tak ada satu pun dari kami yang menjawabnya.
"Kalian lagi berantem, ya?" Kak Ryan mencoba menebak apa yang terjadi, namun pertanyaannya langsung kutanggapi dengan tatapan tajam.
"Gemilang? Johan?" Kak Rianna menolehkan wajahnya ke arah kami secara bergantian.
"Bu-Bukannya aku nggak mau bilang ke Kakak..." ujarku kemudian. "Tapi, masalahnya terlalu rumit buat dijelasin..."
"Yang mudah-mudah aja." Kak Rianna bersikeras. "Kalau itu bisa, 'kan?"
Aku menunduk. Memperhatikan tanganku yang semakin mendingin. Entah mengapa, situasi kami saat itu membuatku semakin kacau. Apakah aku harus memberitahukan tentang semua teror itu pada Kak Rianna dan Kak Ryan? Aku takut mereka justru akan terlibat dalam masalah yang kualami ini.
"Gemilang. Jawab Kakak sekarang!" Kak Rianna mengeraskan suaranya.
Aku menggigit bibir bawahku. Rasa pusing tiba-tiba menyerang kepalaku bersamaan seiring meningkatnya detak jantungku.
"Oi, Rin. Nggak usah sampai marah-marah begitu..." Kak Ryan mencoba untuk menenangkannya.
"Aku nggak marah!" Kak Rianna memalingkan wajahnya cepat ke arah Kak Ryan. "Tapi aku cemas! Setiap kali Gemilang punya masalah, dia nggak pernah ngasih tau kita! Memangnya dia pikir kita ini apa?"
"Rianna!" Kak Ryan ganti mengeraskan suaranya. Membuat Kak Rianna langsung membungkam suaranya.
Sehingga hanya suara dari tangisanku saja yang meramaikan suasana.
"Maaf... maafin aku..." ujarku terisak. "Itu... bukan mauku..." tangisanku semakin menjadi-jadi. Dan tanganku yang sedari tadi memeluk lutut, kini kugunakan untuk menyembunyikan wajahku yang basah. Dan menangis sejadi-jadinya.
Kak Rianna dan Kak Ryan hanya terdiam. Aku yakin, mereka mungkin merasa iba melihat keadaanku sekarang. Bagaimana tidak? Itu merupakan pertama kalinya aku menangis seperti itu di depan mereka.
Aku sendiri juga tidak tahu mengapa, tapi aku merasa semakin lama diriku semakin melemah. Setiap harinya, aku makin sering menangis. Dan semakin lama, kekuatan fisikku juga semakin berkurang. Aku tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi padaku. Sungguh, ini sangat menyedihkan.
Di tengah-tengah kondisi menyedihkanku, aku tiba-tiba merasakan sepasang lengan yang kuat tengah memelukku dengan lembut dan hangat. Yang lalu diikuti dengan aroma menenangkan yang sangat kukenal.
"Sudah cukup..." Johan berbisik di telingaku. Berusaha menenangkan diriku yang masih menangis hebat. "Kamu nggak perlu ngejelasin apa-apa..." lanjutnya sambil mengelus kepalaku berulang kali. "Biar aku aja yang ngelakuin itu buat kamu..."
Aku masih menangis. Rasa sesak yang ada di dadaku dan pusing yang melilit kepalaku menyebabkanku tidak bisa mengatakan apa-apa kecuali suara tangisan pilu.
"Lebih baik kamu istirahat... ya?" bisiknya lagi. Namun, kali ini, suaranya terasa seperti menghipnotisku. Sehingga perasaan tenang sedikit demi sedikit mulai menyebar di dalam hatiku yang rapuh.
Perlahan-lahan, rasa pusing di kepalaku terasa semakin liar. Dan seluruh pandanganku mulai kabur.
Hingga semuanya menjadi gelap tanpa suara.
***
***
Yupp, hari ini double up. Sekian, terima kasih.
Dan jangan lupa vomment nya yaaa?
Awas kalau lupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna ( When Your Heart Full of Fear )2
Teen FictionSetelah melalui berbagai macam rintangan, akhirnya Johan dan Gemilang berhasil menemukan kebahagiaan mereka. Dimana hanya ada cinta di antara keduanya. Namun, ketika mereka berpikir masalah telah selesai, sang Takdir kembali menguji mereka. Satu per...