Sabtu yang lalu adalah hari yang benar-benar panjang sekaligus paling produktif selama masa liburan gue. Walaupun capek dan sebal karena kelakuan dosen pembimbing yang hobinya menyindir itu, gue gak memungkiri kalau gue dapat banyak pelajaran baru, padahal baru satu hari berlalu. Bukan cuma dari segi farmasi, tapi juga tentang perlakuan ke hewan uji yang notabenenya gak didapatkan sama teman-teman gue yang lain.
Bagi sebagian orang mungkin itu gak penting, menggelikan atau bahkan menjijikkan. Tapi buat gue, itu adalah pengalaman yang berharga. Dari gue yang awalnya kena serangan panik hanya karena melihat ada terlalu banyak dari mereka—tikus putih—sampai ke gue yang menganggap mereka itu harus dijaga dan diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Bukan karena kalau mereka gak ada penelitian gue gak bakal jalan, tapi karena mereka juga makhluk hidup sama seperti kita. Siklus itu terjadi hanya dalam beberapa jam saja. Mungkin ini yang disebut dengan character development.
Oke, gue tau gue terkesan lebay banget. Tapi, gak ada salahnya menghargai tiap proses yang ada, kan?
Setelah kemarin sempat beristirahat selama satu hari—alias meliburkan diri—hari ini aktivitas penelitian itu harus dilanjutkan kembali. Tapi gak seperti sebelumnya yang gue datang sejak pagi—walaupun telat—ke lab, hari ini gue dan Sisil baru menampakkan diri sekitar pukul 4 sore. Sengaja, karena Kak Dirga juga ada urusan dari pagi dan baru ada waktu sesore ini.
Yah, gue bisa bilang kalau gue dan Sisil gak bisa apa-apa kalau gak ada dia. Walau formula dan segala macam metodenya sudah tertera dengan jelas di proposal, gue dan Sisil masih gak berani bertindak kalau gak ada Kak Dirga. Pertama karena di sini bukan wilayah kita, kedua karena kita memang gak tau apa-apa. Kita terlalu takut salah. Masalahnya, kalau ada salah-salah sedikit saja, urusannya akan berimbas ke biaya. Dan gue adalah orang yang sangat perhitungan kalau sudah menyangkut uang. Dananya terbatas, jadi penggunaannya harus diminimalisir dan seefektif mungkin.
Tapi bukan berarti sejak pagi gue dan Sisil cuma berleha-leha di rumah. Kebetulan memang ada pertemuan yang harus dihadiri sejak pagi, diselenggarakan pihak universitas. Selain itu juga ada beberapa persuratan yang harus diurus di rumah sakit. Jadi Sisil ke pertemuan itu dan gue yang ke rumah sakit.
Kehidupan gue semasa menjadi mahasiswa kedokteran gigi memang hanya seputaran kampus dan rumah sakit.
"Itu orang mana, sih? Ini udah jam 4. Lo yakin kemarin janjiannya jam segitu?" tanya gue.
Sisil mengangguk. "Kemarin dia bilangnya baru punya waktu jam 4."
"Tapi sekarang udah lewat jam 4. Sok sibuk apa gimana? Perasaan mahasiswa masih pada libur. Dia mau ngajar siapa coba?"
Sisil mengangkat bahu. "Gak tau. Tapi kayaknya dia emang lagi sibuk gitu. Soalnya kan, mau lanjut S3 lagi nanti."
"Hubungannya?"
"Dia dapat beasiswa buat lanjut di luar negeri, Nar. Jadi banyak berkas yang mesti diurus."
Gue hanya menganggukkan kepala, dalam hati cukup kagum juga. Gue gak kaget sih, kalau dia bisa dapat beasiswa walau gue belum tau dari pihak mana dan bakalan lanjut di mana. Seingat gue, waktu gue ke ruangannya dulu, di atas mejanya memang ada banyak sertifikat. Ada plakat dan karikatur juga. Entah maksudnya apa barang-barang itu dipajang di sana. Pamer kah? Atau sebatas hiasan?
Terserah.
Gue gak peduli.
Kak Dirga baru muncul sekitar pukul 5 sore. Kesal? Lumayan. Terlepas dari alasan—yang masih bersifat kemungkinan—yang tadi dilontarkan Sisil, gue tetap gak suka dengan orang yang menyepelekan waktu. Kalau merasa gak bisa memenuhi ya jangan berjanji!
Seolah gue dan Sisil gak kelihatan, Kak Dirga jalan begitu saja melewati kami berdua. Sejak tadi gue dan Sisil memang duduk di bangku panjang di luar lab, karena lab memang sudah terkunci lewat dari pukul 4 sore. Jadwal laboran di sana hanya sampai jam segitu. Di luar dari itu, hanya dosen lab yang bersangkutan yang pegang kuncinya. Bertambah lagi satu alasan kenapa gue dan Sisil gak bisa apa-apa kalau gak ada Kak Dirga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosbim | Doyoung
General FictionSUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA DI KOTA ANDA "Cowok ganteng itu memikat, cowok pintar itu menjerat" ©2018, lilianahikari