7

28.9K 5.2K 1.4K
                                    

Fei:
Nar, udah sampai mana?




Gue menatap chat yang masuk itu dari luar tanpa ada sedikit pun niat untuk membalas. Malah, seandainya Fei ini bukan siapa-siapa, chat-nya bakalan langsung gue hapus tanpa gue baca. Sayangnya embel-embel teman geng menghalangi semuanya.

Yah, Fei adalah satu dari lima orang lainnya yang sering menghabiskan waktu bersama saat hari kuliah. Gak ada orang di angkatan gue yang gak tau lingkaran pertemanan kita. Di kalangan senior pun berlaku hal yang sama.

Alasan kenapa gue memilih untuk mengabaikan pesan Fei kali ini adalah karena dia gak sedang menanyakan soal posisi, tapi soal kondisi. Dia menanyakan kemajuan penelitian gue, sesuatu yang membuat gue agak sensitif akhir-akhir ini.

Gue punya lima orang yang bisa gue bilang sahabat, termasuk Fei. Dan dari kita berenam, hanya satu yang memilih untuk gak mengikuti kompetisi ini. Dua lainnya gagal tanpa dibiayai, menyisakan gue, Fei, dan satu orang lagi bernama Lea. Fei dan Lea satu tim, mengambil bidang yang berbeda. Dan proses mereka jauh di depan gue, alasan utama kenapa gue gak mau menjawab pertanyaan Fei barusan.

Gue gak tau apakah perasaan itu disebut iri atau malah rendah diri. Yang gue tau, gue gak butuh semangat yang kemungkinan besar akan dilontarkan Fei kalau gue membalas pesannya tadi.

Iya, gue tau gue bukan teman yang baik. Tapi gue gak peduli. Gue cuma gak mau dikasihani.

Memasukkan hp ke dalam tas, gue beranjak keluar kamar, menyusul Nana yang sudah menunggu di luar pagar.

"Lama amat, Kak. Dandan juga enggak. Ngapain sih di kamar?"

"Urusan cewek. Gak usah kepo."

Nana mencibir, lalu memberi helm. Memegangi pundak, gue naik ke atas motor dan mengatur posisi duduk menyamping. Nana menanyakan kesiapan yang cuma gue jawab dengan dehaman. Dia lalu memastikan lewat pantulan di kaca spion sebelum akhirnya mulai melajukan motornya.

Gak butuh waktu yang lama untuk gue sampai di kampus-wilayah anak farmasi. Hari ini parkiran lebih ramai dari biasanya, entah karena apa. Mobil Sisil juga udah ada, jadi gue bisa langsung naik ke atas tanpa perlu menunggu lagi seperti sebelum-sebelumnya.

Sampai di lantai 4, gue gak langsung masuk ke dalam. Gue berhenti dulu di depan pintu, mengatur napas yang memburu.

Seminggu lagi, Nar. Sisa seminggu lagi lo berkutat dengan musuh kaki manusia ini. Gak apa-apa. Begitu semuanya selesai, lo bisa say goodbye ke tangga-tangga gak berperikemanusiaan ini. Semangat!

Sama seperti jumlah kendaraan di parkiran, jumlah pasang sepatu yang ada di depan pintu juga lebih banyak dari biasanya. Di satu sisi gue bersyukur karena suasana lab jadi lebih ramai, memperkecil kemungkinan menjadi sasaran sarkasme Kak Dirga. Tapi di sisi lain, gue juga punya kekhawatiran, karena gak semua orang baru bisa memberi rasa nyaman.

Tu-tunggu. Kok kedengarannya jadi agak ambigu?

"Kamu ngapain di situ?"

"H-ha?" Gue mengerjap, masih diam di tempat memandangi celah pintu yang jadi lebih lebar karena ada yang membuka, Kak Dirga. "Eh?" Refleks gue mundur dua langkah. "Eng ... gak ngapa-ngapain. Baru sampai, Kak."

"Kenapa gak masuk?"

"Ini mau masuk."

"Oh. Ya udah. Masuk." Kak Dirga berjalan keluar, menyisakan pintu yang semakin terbuka lebar.

Gue memutar bola mata malas, melepas sepatu, lalu masuk mencari Sisil.

Gak seperti hari-hari kemarin ketika penghuni lab ini selalu kurang atau sama dengan sepuluh, hari ini lab benar-benar penuh. Semua meja terisi dan semua alat terpakai. Sebagian besar adalah wajah-wajah baru yang belum pernah gue lihat satu minggu belakangan ini. Sisil bilang mereka semua senior yang lokasi KKN-nya dekat. Katanya mereka izin mumpung hari ini hari Jumat, sekalian disambung besok dan lusa karena memang akhir pekan.

Dosbim | DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang