Momen yang sejak beberapa waktu belakangan ini selalu menggentayangi gue akhirnya tiba juga. Setelah selama ini banyak mengorbankan darah, keringat dan air mata, tibalah gue di monev eksternal hari ketiga. Dalam beberapa jam ke depan akan ada pelepasan sebagian beban yang nantinya akan mendatangkan rasa lega. Mari sama-sama berdoa semoga nanti memang akan seperti itu rasanya.
Sama seperti dua hari sebelumnya, gue sudah di lokasi sebelum pukul 8 pagi. Tapi kali ini gue gak sendiri lagi. Walapun Sisil dan Dahlia belum kelihatan batang hidungnya, tapi di sini sudah ada Lala dan teman timnya, Wana dan Vera.
"Tunggu, tunggu. Lo dandan ya, Nar?" tanya Lala, mengamati muka gue dengan saksama.
"Eh? Iya. Dikit. Disuruh Fei sama Lea. Emang kenapa? Kentara banget, ya? Tebel banget? Gue hapus aja apa, ya? Masih ada waktu buat cuci muk—"
Lala terkekeh, membuat gue berhenti bicara. "Santai kali, Nar. Gue nggak maksud gitu, kok! Gue cuma nanya aja, soalnya biasanya kan muka lo selalu polos walau mau ke mana-mana."
"Eng ... Omongan lo barusan malah bikin gue makin mau cuci muka tahu nggak?"
Lala kembali terkekeh. "Nggak, ih! Jangan. Nggak usah dihapus. Bagus, kok. Serius!"
Gue memicingkan mata ke Lala, tapi kemudian teralih ketika mendengar suara Dahlia.
"Widih, orang-orang pada pagi amat datangnya. Udah pada mandi belum, nih?"
"Ya udah, lah! Nggak mutu amat pertanyaan lo," sahut Kak Leo.
"Dih, santai kali, Mas. Nggak usah ngegas juga. Kan gue cuma mastiin aja. Gue yang tinggalnya deket aja baru sampai, ini kok yang jauh-jauh udah pada sampai duluan. Kan mengherankan."
"Karena bangunnya lebih pagi dan siap-siapnya lebih pagi juga. Ah gimana, sih? Payah lo! Nggak ada berubahnya sebelum dan sesudah mengabdi di masyarakat. Gak ada gunanya pergi KKN."
Gue dan yang lain—yang notabenenya lebih junior—hanya tertawa menonton pertikaian mereka. Kak Leo dan Dahlia itu sama saja. Sama-sama suka beda sendiri jalan pikirannya.
Sekitar lima menit kemudian Sisil ikut bergabung. Dan lima menit kemudiannya lagi, Kak Dirga juga ikut bergabung.
"Kalian udah pada sarapan?" tanya Kak Dirga.
"Kenapa nanya-nanya, Kak? Mau bagi-bagi makanan, ya?" Dahlia balik bertanya.
Meninggikan alis sebelah, Kak Dirga melirik oknum yang baru saja menyahutinya. "Kamu siapa?"
Kecuali Dahlia, semua yang ada di sana kontan tertawa.
Sementara yang ditertawakan malah melempar tatapan nggak percaya sambil berkacak pinggang dan menggeleng-gelengkan kepala. "Oh, gitu. Sekarang mainnya gitu. Oke. Fine!"
Kak Dirga hanya menanggapi Dahlia dengan senyuman geli sebelum dia kembali berbicara ke forum lagi. "Minimarket depan udah buka kalau ada yang belum makan. Snack-nya baru dibagi jam 10. Jangan sampai ada yang gak fokus presentasi gara-gara kelaparan."
"Oke deh, Kak!" ucap Kak Leo.
"Ah, sama, mumpung sekarang kalian masih punya waktu, kalau udah nggak ada urusan lagi mending kalian semua masuk ke kelas masing-masing. Konfirmasi sama panitia buat urutan tampil. Sekalian cek PPT-nya, udah benar atau belum? Ada yang berubah gak? Konfirmasi juga ke mereka, kalian mau pake pointer yang disediakan panitia atau mau pake punya sendiri. Biar nanti pas reviewer-nya datang, kalian sisa langsung presentasi. Nggak ribet soal teknis lagi."
"Siap, Komandan!" Masih Kak Leo.
Kak Dirga mendengkus geli sekali lagi sebelum akhirnya masuk ke salah satu kelas yang ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosbim | Doyoung
General FictionSUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA DI KOTA ANDA "Cowok ganteng itu memikat, cowok pintar itu menjerat" ©2018, lilianahikari