6

32.7K 5.4K 1.7K
                                    

Balas dendam terbaik adalah dengan menjadikan dirimu lebih baik

-Ali bin Abi Thalib-



•••



Sejak kecil, gue terbiasa diremehkan. Gue terbiasa dipandang sebelah mata, dianggap gak bisa memenuhi ekspektasi para orang dewasa.

Gak, bukan dari orang tua gue. Tapi dari guru-guru gue.

Mengenaskan banget gak, sih?

Ketika seharusnya mereka adalah orang-orang yang turut mendukung kita, mengajarkan banyak hal dan membantu kita untuk bisa menggapai cita-cita, fakta di lapangan malah berlaku sebaliknya.

Untungnya gue bukan orang yang terlalu cepat putus asa, yang dengan gampangnya jadi pesimis hanya karena omongan-omongan gak berdasar dari mereka yang mengaku lebih dulu menginjakkan kaki di dunia.

Tumbuh di lingkungan seperti itu membuat gue menjadi ambisius dalam beberapa hal. Omongan-omongan merendahkan dari mereka gue simpan baik-baik dalam memori, gue jadikan motivasi untuk membuktikan kalau gue gak seperti yang mereka kira, kalau gue juga bisa seperti yang lainnya.

Katakanlah gue pendendam, berjuang demi melakukan pembalasan, demi memberi pembuktian ke mereka—oknum-oknum yang terlalu suka merendahkan. Cara hidup dengan orientasi seperti ini sebenarnya sangat gak menyenangkan, gue sadar akan hal itu. Tapi, sampai detik ini, dengan cara inilah gue bertahan.

Merapikan lembaran-lembaran yang baru keluar dari printer, gue kembali mengecek hasil revisi gue tadi malam. Sepulang dari kampus kemarin, gue segera membersihkan diri lalu kembali berkutat dengan laptop dan jurnal-jurnal internasional serta google translate demi memperbaiki draft paten yang ditolak Kak Dirga. Tentunya kali ini gue lebih niat, bahkan lebih berusaha ketimbang saat gue mengajukan draft proposal ke Dokter Tian dulu.

Alasannya jelas, gue gak mau dianggap gak bisa.

Kabar baiknya adalah kali ini gue gak harus sampai begadang. Mungkin karena kemarin gue gak pulang se-malam hari-hari sebelumnya. Tidur yang cukup dan bangun tanpa paksaan—dibangunkan—adalah anugerah yang luar biasa untuk mahasiswa.

Seperti biasa gue berangkat ke kampus bareng Nana. Yah, begitulah kalau punya saudara pengangguran— siswa udah bukan, mahasiswa juga belum. Sayang aja kalau gak dimanfaatkan.

Turun dari motor, gue menyerahkan helm lalu berkaca sebentar di spion. Setelah memastikan pakaian gue masih dalam keadaan rapi, gue jalan memasuki gedung fakultas.

Atau, niat awalnya begitu. Sebelum langkah gue terhenti dan malah mundur ke belakang karena tangan gue ditahan.

"Apaan sih, Na?"

Nana menengadahkan satu tangannya.

Memutar bola mata malas, gue menjabat tangan Nana lalu menggerakkan tangan sampai punggung tangan gue menyentuh keningnya, yang segera dihempas Nana beberapa detik setelahnya.

"Siapa yang mau salim, sih?" protesnya.

"Lah? Terus apa?"

Nana kembali menengadahkan satu tangannya. "Minta duit. Mau cari makan."

"Yaelah, makan di rumah aja kenapa sih, Na? Bersih, sehat, gratis lagi."

"Ya Allah, salah apa sih sampai punya kakak otaknya gratisan mulu?"

Dosbim | DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang