18

26.1K 4.7K 1.4K
                                    


"Kak."

Badan gue terasa berguncang.

"Kak."

Badan gue berguncang lagi.

"Kak Nara."

Oh, ternyata badan gue hanya sedang diguncang.

Sayup-sayup gue mendengar suara yang gue kenali sebagai suara adik gue sendiri, Arjuna Wirasena. Kayaknya dia lagi berusaha mengembalikan gue ke dunia nyata. Tapi maaf-maaf saja, untuk saat ini, setengah jiwa gue masih melayang-layang di angkasa. Dan saat ini juga, ada cacing besar alaska yang sedang berseliweran di sekitar mata gue sehingga untuk menggerakkan kelopak pun, rasanya gue sangat-amat gak bisa.

Gak butuh waktu lama sampai gangguan itu hilang. Suara yang diikuti oleh guncangan tadi gak lagi terasa sama sekali. Mungkin Nana sudah menyerah. Atau mungkin hanya sedang berbaik hati untuk gak merecoki gue di Minggu pagi. Atau alasan-alasan lain yang pada intinya, akan membiarkan gue untuk tetap berdomisili di pulau mimpi.

Seenggaknya, itu harapan gue.

Tapi sepertinya gue salah ketika gue merasakan adanya elusan di kepala dan embusan napas di dekat telinga.

"Sayang, bangun, yuk! Udah pagi."

Detik itu juga semua hal yang sebelumnya mampu membuat gue tetap bergeming di posisi menguar entah ke mana. Gue terbelalak hingga bukaan maksimal dengan napas yang tertahan di dada, disertai oleh bulu kuduk yang meremang seluruhnya.

"ASTAGFIRULLAHALADZIM!" Gue mendorong sosok yang ada di belakang gue sekuat tenaga lalu berguling menjauh dan mengeratkan gulungan selimut yang membungkus tubuh gue. "LO APA-APAAN SIH, KAMPRET?!"

Gue memandang Nana dengan tatapan penuh kebencian, sementara dia malah bersandar di pintu lemari gue dengan tangan yang terlipat di depan dada dan satu telapak kaki yang juga ikut merapat di sana. "Biasa aja ngeliatinnya, Kak. Gak usah kayak lagi ngadepin setan gitu."

"Bodo amat! Emang lo lagi setan banget pagi ini!"

"Astagfirullah. Baru bangun udah bikin dosa lagi aja lo, Kak."

Gue melengos. "Tuh, depan lo cermin gue gede!"

Nana menyengir. "Ya abisnya, lo dibangunin pake cara biasa gak bisa. Ya gue pake cara lain, lah! Eeeh, gak taunya, ternyata selama ini lo haus kasih sayang ya, Kak?"

Dengan kecepatan cahaya, satu bantal melayang ke arah Nana.

"Mulut lo, Nyet!"

Detik itu juga Nana tertawa. Lepas sekali. Sepertinya berasal dari hati karena Nana yang tadinya berdiri kini sudah berjongkok dengan tangan yang memegangi perutnya.

Gue mendecak sebal. "Gak lucu, Na. Sumpah!"

Nana gak menghiraukan keluhan gue dan terus melanjutkan tawanya, padahal gue serius waktu gue bilang apa yang dia tertawakan sama sekali gak ada lucu-lucunya. Gue sampai bosan mendengar gema tawanya yang gak tau kapan akan berhentinya.

Mungkin nyaris dua menit berlalu ketika dia akhirnya menyeka ujung matanya. Nana menghela napas panjang lalu kembali berdiri. "Santailah. Bercanda gue, Kak. Ya mana mungkin juga lo haus kasih sayang? Selama ini kan gue udah menyayangi lo dengan sepenuh jiwa dan raga bagai sang surya menyinari duni-"

"Aaaaa, berisik berisik berisik gue gak dengar gue gak dengar gue gak dengar!" Gue menutup kedua telinga gue sembari bermonolog, menolak mendengarkan kalimat Nana yang menggelikan dunia-akhirat. "Lagian lo ada urgensi apaan sih ngebangunin gue pagi-pagi? Masih jam tujuh, Na! Aturan Ibu soal batas tidur pagi pas hari Minggu tuh sampai jam delapan!"

Dosbim | DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang