Perubahan intensitas cahaya dalam ruangan yang terlalu mendadak memaksa gue kembali ke dunia nyata.
Gak, bukan karena sinar matahari. Tata ruang di kamar gue gak se-estetik itu sampai sinar matahari dari luar jendela bisa masuk ke kamar dan membuat silau mata. Malah, gue sengaja mengatur posisi ranjang sejauh mungkin dari jendela biar gak kena sinar maupun cahayanya. Itu cuma lampu kamar yang dinyalakan tiba-tiba. Pelakunya Nana. Sepertinya sengaja.
"Ck, apa sih, Na? Matiin lagi ah!" Gue memalingkan muka dan menaikkan selimut, belum ikhlas kalau sudah harus mengumpulkan kesadaran sekarang.
"Hidih, ini nih, yang minggu lalu bilang sama gue kalau tidur pagi itu gak baik. Dasar pembual!"
"Bodo amat. Matiin. Gue masih mau tidur."
Nana mencibir. "Emang ya, kelakuan kalau habis keluyuran sama om-om, segalanya jadi serba malas."
Bahkan dalam keadaan setengah sadar pun gue masih nyaris tersedak mendengar kalimat Nana barusan.
Hhh ... Ya Allah, tolong jauhkan adik hamba dari perkara suudzon, iri hati, serta dengki yang tidak berkesudahan ini.
"Dia bukan om-om, Na," sahut gue, masih dalam posisi yang sama, masih belum mau membuka mata.
Lo belum liat aja tampilannya tuh orang kayak gimana. Masih tuaan mahasiswanya daripada dia.
Ini bukan pujian atau pembelaan buat Kak Dirga. Gue cuma ngomong kenyataan, walau cuma dalam hati. Lagi pula bukan cuma dari segi tampilan. Gue sendiri yakin kalau umurnya memang belum setua itu. Walaupun sampai saat ini gue belum tau umurnya berapa—dan gak berminat untuk tau juga—dulu Dahlia pernah bilang kalau Kak Dirga itu dosen termuda di fakultasnya. Dan kenyataan itu gak membuat prestasinya kalah dari dosen-dosen senior yang ada di sana. Paling cuma gelarnya aja yang kurang panjang, faktor belum hidup terlalu lama. Tapi toh kata Sisil dia udah mau lanjut S3. Berarti ya gak lama lagi sama.
Iya, terus apa peduli gue?
Gak ada. Sebenarnya gue juga gak peduli. Walau masih muda dan belum berkeluarga, bisa aja dia punya saudara yang udah menikah dan punya anak. Kalau begitu dia otomatis menyandang predikat sebagai om-om, kan? Cuma, gue gak bisa terima aja kalau gue dibawa-bawa dalam kalimat yang sama dengan kesimpulan yang dia ambil sembarangan itu. Ya kali gue jalan sama om-om? Ngapain? Mending jalan sama Lucas ke mana-mana.
Yah, walau dia berisik dan banyak maunya, sih.
"Sorry ya, gue gak kayak Ibu yang bisa dengan mudahnya percaya hanya dengan kata-kata. Penjelasan lo semalam itu masih gak bisa dipertanggungjawabkan tau gak?"
Enggak. Ini doa gue belum dikabulin, ya? Masih ribut aja tuh bocah soal semalam.
Gue baru mau menyahut lagi ketika gue tiba-tiba teringat sesuatu.
Oh, kayaknya gue emang belum selesai berdoa. Gue lupa penutupnya.
Aamiiin.
"No pic, hoax."
Hhh ... Masih belum dikabulin juga ternyata. Ya udahlah.
"Gue gak ada urusan buat nyimpan fotonya, Na."
"Halah! Alasan!"
Jengah, gue membuang napas kasar lalu memutar badan menghadap ke si pengacau pagi. Gue memasang tatapan kesal, mulai emosi karena gak diizinkan untuk tidur sedikit lebih lama lagi. "Lo sebenernya kepengen apa sih sampai gak ngebiarin gue lanjut tidur lagi? Plis deh ya, gue tau ini bukan cuma sebatas karena lo gak suka gue bangun agak lebih siang aja. Apa? Ngomong buruan!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Dosbim | Doyoung
General FictionSUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA DI KOTA ANDA "Cowok ganteng itu memikat, cowok pintar itu menjerat" ©2018, lilianahikari