Kalau hari kemarin nyaris sepenuhnya gue isi dengan latihan presentasi, hari ini gue mau melakukan observasi di lokasi. Kebetulan monev kali ini dilaksanakan selama tiga hari, dimulai sejak hari kemarin sampai esok hari. Nasib baik tim gue mendapat giliran di hari ketiga alias hari terakhir. Jadi walaupun Sisil baru mengumpulkan laporan kemajuan di detik-detik terakhir, kami masih punya waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri sebelum tampil presentasi. Yah, terima kasih kepada Dokter Gigi Ratian Mahesa yang turut andil dalam pengaturan jadwal penampilan sehingga semua ini bisa terjadi.
Demi menghindari kemacetan dan keterlambatan, kurang lima belas menit sebelum pukul 8 pagi gue sudah memasuki kelas yang besok akan gue tempati presentasi. Gue mengambil tempat di bagian yang paling sedikit menyediakan kursi dan tepat di sebelah pilar supaya gue tertutupi. Saat ini keadaan kelas masih terbilang cukup sepi. Di tempat gue pun hanya ada gue sendiri karena Dahlia dan Sisil kali ini gak ikut berpartisipasi—mereka berdua masih berhibernasi.
"Kamu ngapain di sini?" tanya sebuah suara yang ketika gue menolehkan kepala, ternyata Kak Dirga.
"Loh? Kak Dirga sendiri ngapain? Jaga di ruangan ini? Atau datang sebagai dosen pembimbing? Tapi kok—"
"Mungkin ada baiknya kalau kamu jawab pertanyaan saya dulu? Soalnya dulu ada yang pernah bilang sama saya kalau dia gak suka pertanyaan dibalas sama pertanya—"
"Saya mau nonton," potong gue.
Satu alis Kak Dirga kontan meninggi. "Gak salah?"
Gue menggeleng. "Kenapa?"
"Kepala kamu habis terbentur di mana?"
"Hah? Gak ada. Gak habis kebentur, kok. Kenapa sih, Kak? Ada yang benjol emang?" Gue meraba-raba bagian kepala, mencari-cari siapa tau memang ada bagian yang tampak salah.
Kak Dirga menarik kursi di sebelah gue lalu ikut duduk juga. "Gak ada. Cuma gak nyangka aja ternyata kamu bisa rajin juga."
Kalau seandainya Kak Dirga itu Lucas, mungkin sekarang bahunya sudah gue hantam dengan tas. Untungnya bukan. Dan untungnya dia dosen.
Menyentakkan kepala, gue berdeham pelan. "Yah, saya gak jadi mahasiswa kesayangannya Dokter Tian tanpa alasan sih, ya."
"Ho? Yang barusan itu namanya apa, ya? Sombong? Atau bangga?"
"Em, gak dua-duanya sebenarnya."
"Sebenarnya?"
"Iya."
"Jadi?"
Menarik salah satu ujung bibir sepersekian mili, gue memasang ekspresi penuh percaya diri. "Namanya, cara melawan argumentasi Kak Dirga."
Detik itu juga Kak Dirga tertawa.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Orang bilang, tawa itu menular. Dan ternyata itu benar. Gue juga jadi ikut melakukan hal yang sama karenanya.
Yah, kalau diingat-ingat lagi, sepertinya interaksi gue dengan Kak Dirga memang sudah sangat jauh berbeda dari saat kita berdua berinteraksi kali pertama. Dulu gue masih suka takut, masih sering ragu, dan berusaha meminimalisir komunikasi sebisa mungkin karena banyak khawatirnya. Tapi sekarang, kecuali penggunaan bahasa yang masih dalam kategori semi formal, gak ada lagi yang namanya berpikir dua kali sebelum bicara. Sekarang gue lebih bebas mau berkata apa dan sama sekali gak ada kekakuan di dalamnya. Belum lagi Kak Dirga yang gak pernah marah atau bahkan sekadar memberi sinyal bahwa dia gak suka ketika gue bercanda. Ucapannya waktu itu, tentang kita yang sebenarnya gak sejauh itu, bukan bualan belaka. Bahwa dia gak keberatan dengan interaksi yang santai dan terkadang malah gak terasa seperti antara dosen dan mahasiswa.