14 (a)

31K 5.1K 1.9K
                                    

Gue membuka mata, mendapati diri kembali terbangun di tempat yang sama seperti hari-hari sebelumnya, di ruangan serba putih berukuran 3 x 3 alias kamar Kinara Azalea. Gue lalu mengerjap, membiasakan pandangan dengan keadaan kamar yang hanya diterangi oleh cahaya-cahaya dari luar ruangan yang masuk melalui celah maupun jendela. Menguap, gue memanjangkan tangan ke sebelah, meraba-raba nakas mencari hp dengan niat mengecek sekarang sudah jam berapa.

Tck, nice. Harusnya gue masih tidur sampai dua puluh lima menit ke depan.

Gue mendesah kecewa, menyayangkan tidur siang yang berakhir lebih cepat dari rencana. Gue sudah gak mengantuk lagi dan memaksa tidur kembali cuma bikin sakit kepala. Akhirnya gue cuma berdiam diri sambil mengamati pengaturan alarm yang lagi-lagi gagal menjalankan fungsinya.

Hhh ... lo kapan bergunanya, sih? Giliran lo bunyi, gue-nya gak bangun. Giliran gue bangun, lo-nya belum bunyi. Ya ampun, mau jodoh sama alarm hp aja susah banget kayaknya.

Gue kembali menyimpan benda pintar itu di atas nakas. Membaca doa bangun tidur, gue bangkit dari posisi baring dan mendudukkan diri di atas kasur, memandang tepat pada cermin di depan yang memang selurusan dengan kepala tempat tidur.

"Wah, you look as awesome as always, Darl. Well, it might be another tiring day but it's okay since that's life. Knock 'em dead."

Gue mengamati sosok yang dipantulkan cermin di depan kemudian menyunggingkan senyum sebagai bentuk syukur atas kesempatan hidup yang masih diberikan Tuhan. Yah, gue memang gak terlalu suka hidup sebagai manusia karena terlalu repot dan melelahkan. Tapi karena dikasihnya gratis, mau bagaimana lagi? Satu-satunya yang harus dilakukan cuma menjalankan. Gak usah diakhiri terlalu cepat karena hidup punya akhirnya sendiri. Toh dunia cuma sementara. Cepat atau lambat nanti habis juga.

Oh, iya. Bicara sendiri seperti tadi adalah salah satu rutinitas yang gue lakukan tiap bangun tidur—dengan catatan gue tidur di kamar gue sendiri—sebagai sugesti ke diri sendiri bahwa gue akan baik-baik saja gak peduli seberapa aneh dunia berputar hari ini. Kecuali ketika gue gak punya banyak waktu karena terlambat bangun atau memang lagi buru-buru, prosesi ini gue pindahkan ke waktu setelah mandi atau kapan pun gue ketemu cermin lagi.

Gue menurunkan kaki, beranjak dari tempat tidur lalu merapikan kasur. Setelah itu gue mengambil cepolan dan menggulung rambut seadanya, kemudian membuka pintu dan meninggalkan kamar gue tercinta.

Sadar akan banyaknya waktu yang gue punya, gue berjalan dengan santai menuju teras rumah. Kedua mata gue kontan menyipit ketika terpapar cahaya matahari yang bersinar terlalu merdeka. Akhirnya gue harus menyusuri gantungan handuk dengan kelopak yang hanya terbuka semampunya.

Sampai saat sekelebat bayangan tertangkap ekor mata, gue menolehkan kepala, memandang datar pada Sosok Nana yang berlalu entah mau ke mana.

Hng? Nana punya jaket baru? Kok gue baru tau? Kapan belinya?

Beberapa detik berlalu tanpa jawaban atas pertanyaan dalam kepala. Gue memilih mengangkat bahu kemudian masuk kembali ke dalam rumah.

Tapi begitu gue berdiri tepat di depan kamar mandi, tiba-tiba gue teringat akan sesuatu.

Tapi kok jaketnya familier, ya? Gue kayak pernah lihat di mana gitu.

Gue kembali berdiam diri, batal masuk ke kamar mandi.

Apa di mall, ya? Tapi kayaknya gue belum ke mall dua bulan terakhir ini. Terus di mana dong, ya? Apa cuma perasaan gue aj—ah, tunggu.

Gue memutar badan, berjalan menuju halaman belakang lalu mengecek jemuran pakaian.

Dosbim | DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang