8

26.4K 5.2K 2.4K
                                    

"Wah, deras juga hujannya. Alamat ada yang gak bisa pulang."




Gue, yang gak tau dia ngomong sama siapa, juga gak tau harus bereaksi bagaimana.

Err ... Abaikan abaikan. Gak usah dipeduliin, Nar. Gak usah. Dia gak lagi ngomong sama lo, kok. Paling dia cuma—

"Yeee, nyinggung banget, Kak. Mentang-mentang saya bawanya motor doang," sahut Kak Leo, salah satu dari pasukan anak KKN yang izin mumpung hari Jumat.

Tuh, dia lagi ngomong sama Kak Leo. Bukan sama lo.

"Kayaknya bakal awet. Yakin mau pulang naik motor?"

"Diyakinin aja. Emang cuma itu yang ada."

"Kalau hujannya kayak gini sih, gak sampai semenit juga udah basah kuyup."

"Ya mau gimana lagi? Masa nginap sini?"

"Ada karpet buat alas tidur kalau mau."

Kak Leo bergidik. "Ya kali, Kak. Mending hujan-hujanan sekalian daripada di sini. Dikira saya gak tau cerita-cerita horor lab ini apa?"

Terdengar kekehan dari Kak Dirga. "Ya udah. Asal jangan sampai lupa aja, setiap harinya itu berharga."

Selanjutnya Kak Leo gak menanggapi dengan suara lagi. Sementara gue—meski tau Kak Dirga tadi ngomongnya sama orang lain—gak bisa menahan diri untuk gak menelan saliva karena gue juga punya telinga.

Hng ... Tadi dia ngomong sama Kak Leo tapi kenapa gue juga ikut kesindir, sih?

"Eh, hujan ya?" Sisil kembali, berhenti di ambang lorong yang menghubungkan ruangan belakang dengan ruangan ini. "Ih! Ya ampun Nara hujan!"

Gak lo bilang juga gue tau, Sil.

"Iya, emang hujan."

"Terus lo pulangnya gimana?"

"Ya ... pulang."

"Tapi ini hujannya keras banget, Nar! Nanti—"

"Keras apanya? Yang turun kan air, bukan batu," sahut Kak Dirga, entah siapa yang minta pendapatnya.

Sisil mengerjap, mengerutkan kening sambil berpikir sejenak, lalu menoleh ke Kak Dirga. "Eum, oke, deras," koreksinya. Setelah itu dia kembali lagi ke gue. "Lo udah minta jemput Nana? Dijemputnya naik apa? Motor, ya? Terus nanti kalian boncengan kayak biasa? Nana bawa jas hujan, gak? Eh, bentar. Tapi kan, dia jarang bawa jas hujan! Astaganaga, lo bakalan basah banget sampe rumah, Nara!"

Sekali lagi, gak usah lo bilang juga gue tau, Sisil.

"Atau lo mau pulang naik angkot aja? Atau taksi online? Tapi kalau nunggu di depan nanti lo basah." Sisil menjeda, kedua bola matanya bergerak gelisah. "Lo bawa payung gak? Gak, ya? Haduh, gimana dong? Gue juga gak bawa lagi! Mana udah jam segini, pasti di jalan lagi macet parah. Hng ... gimana, ya? Nanti pasti lo sampe rumahnya malam banget, Nar!"

Hhh ... Iya. Terus kenapa? Urgensinya  lo ngejelasin sampai sedetail itu apa?

"Atau—"

"Sil," potong gue sebelum Sisil bercerita lebih banyak lagi. "Udah, beres kan, ya? Pulang, yuk?"

"Tapi—"

"Ada. Gue ada kendaraan pulang, kok. Tenang aja. Mending kita balik sekarang sebelum makin malam dan makin macet dan makin terjadilah semua pemikiran-pemikiran lo tadi."

"Tapi, Nar—"

"Udah. Yuk. Caw." Gue mengambil tas lalu berdiri, jalan lebih dulu menuju pintu keluar tanpa menunggu Sisil lagi. Tinggal lebih lama gak akan membuat hujan reda karena seperti yang Kak Dirga bilang tadi, kayaknya hujannya bakalan awet malam ini. Makin lama di sini cuma meningkatkan kemungkinan Sisil bicara lebih banyak tentang hal-hal gak penting lagi, tentang kekhawatirannya mengenai hujan yang mempersulit cara pulang.

Dosbim | DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang