"Tingkat kedekatannya beda, Nara."
A-apa? G-gimana gimana?
Gue yang semakin ke sini semakin gak mengerti akhirnya melipat tangan di depan dada. "Kak, serius, deh. Saya tuh yakin banget kalau sebenarnya saya tuh gak bego-bego amat. Tapi emang dasar omongan Kak Dirga-nya aja yang susah dicerna. Bukan karena saya kekurangan perbendaharaan kata, tapi karena Kak Dirga yang emang gak ngomong pake makna kata yang sebenarnya. Coba dipikir lagi, ada urusan apa Kak Dirga tiba-tiba nyebut-nyebut angka? Kita kan gak sedang mengkalkulasi apa-apa. Saya tau ada yang namanya analogi. Tapi kalau sampai yang menafsirkan itu salah kaprah, apa gunanya? Kan pesan yang dikirimkan jadi gak tersampaikan."
"Oh, ya?"
"Iya."
"Ooh, gitu." Kak Dirga mengangguk-anggukan kepala, membalas dengan singkat, padat dan menyebalkan. Setelah itu dia kembali menegakkan layar laptop gue seperti sebelumnya, kembali ke kesibukannya dengan laporan gue yang entah kapan selesainya. "Emangnya penafsiran kamu gimana?"
"Gak gimana-gimana."
"Maksudnya?"
"Gak saya tafsirin."
"Kenapa?"
"Saya bukan Google Translate."
Suara ketikan keyboard kembali berhenti menggema, digantikan oleh suara dengusan geli dari Kak Dirga. "Dasar malas."
"Saya gak malas. Saya cuma—"
"Lagi hemat energi?"
Gue mengangguk mantap, walau sekon berikutnya malah melongo lantaran gak menyangka kalau Kak Dirga masih ingat dengan alasan mati yang gue dapatkan dari film animasi.
"Gak usah terkesima. Kapasitas dan kapabilitas otak manusia itu sebenarnya luar biasa. Hanya, kalau gak digunakan dengan sebaik-baiknya, bisa berakibat jadi jauh lebih terbatas dari yang seharusnya. Makanya spesies-spesies manusia kayak kamu itu banyak kagetnya."
Gue jelas gak terima disebut seperti itu. Memangnya ada berapa spesies manusia yang sekarang hidup di dunia?
"Emangnya Kak Dirga manusia spesies apa? Kalau masih homo sapiens, ya artinya kita sama aja."
"Memang sama. Kamu gak denger ya tadi saya bilang kita 11-12?"
"Tapi 11 sama 12 itu gak sama."
"Tapi dekat, kan?"
"Ya dekat. Terus kenapa?"
Dengan dua pasang mata yang kembali bertemu, Kak Dirga tersenyum simpul. "Jadi emang gak ada alasan buat takut. Kita kan, gak sejauh itu."
H-hah?
Detik itu juga otak gue mendadak malfungsi. Sistem gerak gue berhenti beroperasi. Pusat kehidupan gue berdetak secara anomali. Tenggorokan gue kering. Muka gue panas. Semuanya benar-benar jadi di luar kendali. Entah kenapa gue jadi gak bisa apa-apa. Gue tiba-tiba mati gaya. Kinara Azalea, mendadak jadi orang bodoh atas pernyataan yang belum dia yakini betul apa maksud dan tujuan di baliknya.
K-kenapa, nih? Ada apa? Gue kenapa? Kok gue mendadak takikardi begini, sih?!
Drrtt ... Drrrtt ... Drrrt ...
Suara getaran hp di atas meja mengalihkan gue dan Kak Dirga, mendistraksi semua suasana aneh yang sempat tercipta dan membuat seolah-olah sebelumnya hanya sekadar iklan belaka.
Thanks, Na!
"Sebentar, Kak." Gue mengambil benda itu lalu bergegas berdiri dan keluar dari lab, mendudukkan diri di kursi panjang yang biasa gue tempati menunggu dan merapatkan punggung ke tembok. "Ha—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosbim | Doyoung
General FictionSUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA DI KOTA ANDA "Cowok ganteng itu memikat, cowok pintar itu menjerat" ©2018, lilianahikari