Tiga hari belakangan ini terasa sangat-amat tenang. Gue gak punya terlalu banyak hal yang harus dikerjakan, hanya sebatas datang ke kampus dan memberi perlakuan ke hewan uji lalu pulang. Gak ada lagi pekerjaan yang terlalu menguras tenaga seperti berkutat dengan tangga atau berurusan dengan Kak Dirga, dua hal yang sudah sangat ingin gue tinggalkan sejak lama lantaran terlalu mengusik ketenangan jiwa dan raga.
Iya. Kalian gak salah baca, kok. Akhir-akhir ini gue memang sedang terbebas dari sosok Kak Dirga. Dan gue harap, semoga bisa begitu seterusnya.
Setelah gue mengembalikan jaketnya tempo hari, gue sama sekali belum ketemu dia lagi. Percakapan—gak penting—hari itu pun berakhir tanpa ada kesepakatan untuk mengakhiri. Hanya ada gue yang kebingungan dengan fakta kalau dia tau gue punya saudara yang namanya Nana—ketika gue sangat-amat yakin kalau gue gak pernah membahas tentang keluarga sekalipun itu hanya sekadar menyebut nama saudara ke dia, dia yang masih tampak menunggu jawaban dari pertanyaan terakhirnya—yang menurut gue harusnya gak perlu gue jawab lagi mengingat dia pasti sudah bisa menarik kesimpulan sendiri setelah semua yang dia dengar dan amati, dan seruan pertanda kewajiban akan segera ditunaikan yang membuat dia segera pergi tanpa menunggu atau memberi konfirmasi apa-apa lagi.
Hari itu, selain sebagai pertanda bahwa solat akan segera didirikan, ikamah juga menyelamatkan gue dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti terlibat dengan Kak Dirga lebih lama lagi dan juga membuat Nana menunggu lebih lama lagi.
Terima kasih ikamah. Berkatmu, hari-hariku selanjutnya menjadi lebih tenang dan bahagia.
Mungkin karena ketenangan dan kebahagiaan itu pula waktu jadi terasa bergulir lebih cepat dari biasanya. Tau-tau gue sudah sampai di hari perlakuan keenam, yang artinya, sisa satu hari perlakuan lagi sebelum keesokan harinya hewan-hewan ini akan dimatikan dan diambil jaringan gusinya untuk kemudian dilakukan pemeriksaan.
Senang?
Gak juga. Seperti kata pepatah, mati satu tumbuh seribu. Selesai satu masalah, datang lagi masalah lainnya. Selepas dari prosedur perlakuan ini, masih akan ada analisis data, pelaporan akhir, publikasi, pembuatan media presentasi, dan yang paling penting, monev eksternal.
See? Masih banyak sekali!
Rasa-rasanya gue bisa gila kalau gue harus memikirkan bagaimana cara meng-handle semua agenda yang sudah gue sebutkan tadi. Untungnya gue apatis. Jadi beban pikiran gue gak seberat beban pikiran orang-orang idealis.
Menghela napas pelan, gue memutar-mutar sedotan di dalam gelas bekas Thai Tea yang sekarang hanya tersisa es batunya saja. Di depan gue Sisil sibuk berkutat dengan hpnya. Minumannya masih ada setengah saking sibuknya dia dengan orang di balik layar hpnya. Gue yang hanya menumpang ini cuma bisa menunggu sambil bertopang dagu lantaran hp gue sudah habis baterainya.
"Nar," panggil Sisil tiba-tiba. Dia melempar pelan hpnya ke atas meja lalu ikut menopang dagunya, jelas sekali kalau topik yang mau dia bahas selanjutnya pastilah bukan kabar bahagia.
"Hm?"
"Lusa kita ngambil jaringannya gimana, ya?"
Ya ... diambil?
Oke. Jangan bercanda dulu, Nar. Ini temen lo lagi pusing kayaknya.
Gue berdeham. "Kenapa emang?"
"Dokter Tian mau keluar kota."
"Kapan?"
"Besok malam."
"Terus?"
"Katanya baru balik hari Minggu."
"Terus?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosbim | Doyoung
Tiểu Thuyết ChungSUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA DI KOTA ANDA "Cowok ganteng itu memikat, cowok pintar itu menjerat" ©2018, lilianahikari