19 (b)

24.5K 4.5K 2.9K
                                    

Sayangnya gue bukan Nabi Musa yang bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, sehingga pertanyaan gue barusan tentu gak akan langsung dijawab via suara. Maka dari itu, gue memilih menyerah. Mungkin ini semacam hukuman buat gue karena tadi sudah semena-mena membuka pintu lemari pendingin terlalu lama.

Gue berbalik badan, kembali berhadap-hadapan dengan penjaga kasirnya. "Mm, Mbak, maaf tapi—"

"Tolong dihitung sama yang ini juga."

Eh?

Gue menoleh cepat ke sumber suara—sampai leher gue sedikit sakit saking cepatnya. Dan, alangkah bingung dan terkejutnya gue ketika mendapati seseorang yang gak gue ketahui sejak kapan datangnya sedang berdiri dan menyodorkan belanjaannya.

"Disatukan sama yang ini, Kak?" tanya Mbak Kasir ke orang itu.

"Iya. Satuin aja," jawabnya.

Loh? Heh? Kok?

Detik itu juga kedua alis gue bergerak ke arah tengah. "Eeh, tunggu tunggu tunggu tunggu! Kok diga—"

 "Eeh, tunggu tunggu tunggu tunggu! Kok diga—"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Oke. Digabung."

Gue menunduk dan membuang pandangan ke sembarang arah. Gue pasrah, gak mampu berkutik menghadapi tatapan Kak Dirga.

Y-ya tapi situasinya sekarang dompet gue lagi gak tau di mana keberadaannya, Bapak! Dua kotak susu aja gue gak tau gimana cara bayarnya, ini malah situ tambah lagi belanjaannya. Maksudnya apa coba?

Gue merengut, setengah sebal dan setengah takut. Dalam hati gue meringis menyaksikan bagaimana si Mbak Kasir menambahkan belanjaan Kak Dirga ke dalam daftar yang sama dengan belanjaan gue sebelumnya.

"Sekalian isi pulsanya, Kak?"

"Gak usah."

Mbak Kasir mengangguk. "Jadi ini saja, ya?"

"Iya, itu aja."

"Baik. Jadi totalnya Rp22.300."

Gue baru mau kembali membuka suara dan menjelaskan ke Kak Dirga kalau dompet gue sekarang sedang gak tau di mana ketika dia dengan tanpa bebannya mengeluarkan selembar uang berwarna biru dari saku celananya lalu menyerahkannya ke Mbak Penjaga Kasir seolah-olah memang sudah seperti itu seharusnya.

Kerutan di kening gue pun semakin bertambah, semakin bingung dengan situasi yang sedang terjadi di depan mata.

Lah lah lah lah? Kok? Eh? Loh? Kok?

"Uangnya Rp50.000, ya. Kembalinya Rp27.700. Mau pake plastik, Kak?"

"Gak usah, Mbak!" jawab gue, refleks, walau masih di tengah-tengah kebingungan yang gue alami.

Namun berbeda dengan tindakannya tadi yang langsung menyetujui apa pun yang diucapkan Kak Dirga—ketika hal itu notabenenya masih ada kaitannya dengan belanjaan gue juga, Mbak Kasir ini tampak ragu dengan jawaban spontan gue. Dia menyiapkan kembalian sambil melirik Kak Dirga, bermaksud menunggu jawaban langsung dari orangnya. Tapi yang dilirik sama sekali gak memberi komentar apa-apa dan hanya mengambil minumannya lalu pergi tanpa mengambil kembaliannya.

Dosbim | DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang