#delapan

47 3 0
                                    

Dua minggu berlalu. So, it's time for pub. Ada yang menantikan cerita ini? Ayo ngaku. Oke, come on let's go. Please enjoy.

Happy reading 😊

-------------------------------------------------------------

Aku memasukkan ponsel dan menyusul Kevin ke kantin. Tapi begitu sampai dan melangkah masuk, Kevin sudah bersiap untuk beranjak dari meja. Aku mendesis karena Kevin berucap kelamaan. Memang sih jarak antara kelasku dengan kantin Pakde cukup jauh. Ibarat kelasku di depan dan kantin Pakde ada di belakang. Bisa kalian bayangkan seberapa jauh jaraknya.

Usai balik kanan aku mengekori Kevin, yang langkahnya menuntunku dan beberapa temanku kembali ke kelas. Kevin menjelaskan kalau Bu Reva sudah menyuruh seluruh siswa kembali ke kelas. Karena itulah dia membawa kami kembali ke kelas sekarang.

Dari kejauhan aku melihat sebagian teman-teman berkumpul di depan kelas sambil berbaris, persis seperti anak SD di hari pertama sekolahnya. Begitu menyadari kehadiran kami, Bu Reva mengabikkan tangan. Yang sudah jelas berarti kalau beliau memanggil Kevin--sang ketua kelas.

Kevin berlari ke arah Bu Reva dan berdiri di samping beliau. Bu Reva seperti berbisik kepada Kevin dan dijawab Kevin dengan anggukan. Entah apa yang mereka bicarakan, aku jadi penasaran.

Seperti selesai melaksanakan tugas, Kevin melapor yang dibalas Bu Reva dengan anggukan pula. Setelahnya Kevin kembali ke barisan.

Kini tiba giliran Bu Reva yang mengambil alih. Beliau berdiri di hadapan kami dan mengucap salam sebagai pembuka kata yang paling sempurna, menurutku. Dan dengan semangat kami pun menjawab salam beliau.

"Sesuai kesepakatan kita, hari ini saya akan menempatkan tempat duduk kalian yang baru. Kalian mau duduk sesama atau berpasangan?" Suara kami memecah sesuai jawaban pilihan. "Karena jumlah kalian sama, saya mau mendudukkan kalian berpasang-pasangan dan selang-seling." Siswa yang sependapat bersorak kegirangan.

Bu Reva menunjuk seseorang. "Nama saya Julio Agustin, dari kelas X.2."

"Julio Agustin, kamu lahir bulan apa? Juli atau Agustus?" Gurau Bu Reva.

"Dua-duanya kali Buk." Seseorang tiba-tiba berceletuk.

Bu Reva menggeleng. "Ingat syarat berbicara." Tekan beliau

Hening seketika. "Benar Buk, tapi tidak sepenuhnya benar." Ujar Julio kemudian.

"Maksud kamu?" Tanya Bu Reva lagi.

"Saya itu lahir bulan Juli, tapi pulang ke rumah bulan Agustus. Saya dirawat sejenak karena kondisi kesehatan saya." Bu Reva mengangguk-anggukkan kepalanya memahami. "Menurut saya, kami yang nentuin pasangan sendiri Buk. Kami sudah besar, pasti bisa." Eh? Julio kira itu kode lanjutan. Padahalkan bukan.

Refleks aku berkomentar tidak setuju. Aku keberatan, tentu saja. Kalau kami yang nentuin pasangan sendiri, 50% lebih kemungkinan Kevin-Nina duduk bersama. Karena sejak awal kami mengikuti KBM, mereka memang sering berdua duduknya. Tidak pun berdua, setidaknya pasti dekat.

Aku menghembus nafas lega ketika Bu Reva mengatakan dirinyalah yang menentukan semuanya. Baik itu tempat duduknya ataupun pasangan duduknya. Itu berarti sangat minim kemungkinan untuk Kevin-Nina duduk bersama. Dan begitu juga denganku, sangat mustahil untuk dapat duduk dengan Nina, wanita yang aku kagumi.

Aku melangkah ke pintu kelas dan memegang knopnya. Lalu mendorong pintu itu perlahan hingga tubuh ku bisa menyelip melaluinya. Entah mengapa Bu Reva menunjukku sebagai pilihan pertama untuk masuk ke dalam kelas. Namun ada juga sih untungnya. Aku bisa memandangi ke segala arah, tanpa ada yang menghalangi.

Satu Cinta Menghancurkan SegalanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang