#limabelas

22 3 0
                                    

Setelah mendirikan shalat subuh, aku kembali berdiri sebelum berdzikir ataupun berdoa. Tujuanku adalah ingin mencoba saran mommy, ya meng-qada shalatku yang tertinggal. Karena kata mommy, jika ingin menambah shalat dalam satu waktu tidak perlu berdzikir ataupun berdoa. Kalian pahamkan maksudku? Ya, seperti jamak salah satunya. Dan qada ini salah duanya.

Aku tersentak ketika seseorang menepuk pundakku. Tanpa menunggu lama aku langsung menoleh. Mataku menangkap sesosok pria yang tengah menatapku aneh. Orang itu mengenakan baju serba putih lengkap dengan peci dan sorban yang senada.

"Apa yang kau lakukan Cu?" Tidak mengapa dia menyebutku 'cucu' karena sepertinya beliau memang sudah berumur. Itu terlihat jelas dari kerutan yang menyebar luas di permukaan wajahnya. Ditambah dengan janggut putih lebat yang terjuntai bebas. Menurutku, usia kakek ini sudah tujuh puluhan.

Kakek itu mengambil posisi tepat di belakangku. Karena tidak enak, aku pun berbalik menghadapnya. "Selesaikan dulu doa mu." Aku tidak menanggapinya dan kembali memutar posisi, karena memang doaku belum sempat terucap.

Setelah usai, barulah aku menghadap kakek itu lagi. Beliau tersenyum menatapku. Dengan sedikit ragu, aku pun membalasnya. "Kau tampan." Kakek itu berujar. "Persis seperti ayahmu." Lanjutnya kemudian.

"Kakek kenal daddy?" Tak bisa dipungkiri, tentu saja aku penasaran akan akhir kalimatnya.

Kembali kakek itu tersenyum sebelum menjawab pertanyaanku. "Ah tidak, aku tidak mengenalnya. Hanya tau saja, dan itupun dari orang." Aku jadi berpikir, apa mungkin orang-orang sering membicarakan daddy. "Kau tak perlu bingung Cu." Aku kembali menatap sang kakek. Seakan mengerti dengan eskpresiku, akhirnya sang kakek melanjutkan. "Orang seperti ayah, maksudku daddy-mu itu memang pantas dibicarakan." Aku masih tidak mengerti.

Aku terkekeh pelan. "Jujur Kek, aku bingung dengan apa yang anda maksudkan."

"Yasudah, kau lupakan saja." Si kakek mengalihkan pembicaraan. "Sekarang kamu jawab tanyaku..."

"Apa?"

Ekspresi kakek berubah menjadi masam. Apa aku baru saja berbuat kesalahan? Tapi apa?

"Kau harus belajar sopan-santun Cu. Pelajaran pertama jangan pernah memotong pembicaraan orang."

"Sepertinya kakek juga harus belajar menghargai orang lain." Balasku tak mau kalah. "Dan pelajaran pertama kakek itu, jangan pernah mengalihkan topik pembicaraan yang belum selesai."

Sang kakek terdiam. Aku memperhatikan gerak-geriknya. Apa beliau merasa tersinggung dengan ucapanku? Aku harap tidak. Karena jika iya, aku bisa kualat nanti.

"Baiklah, satu pelajaran tambahan untukmu Cu. Kau akan belajar menjalani hidup." Aku menatap lekat sang kakek dan mendengarkannya dengan antusias. "Kau tau? Hidup ini penuh misteri." Aku hanya mengangguk, karena jika aku menjawab 'iya' bisa-bisa aku dibilang tidak sopan lagi. Ya, kalian tau--memotong pembicaraan. Memang sangat tidak sopan.

Sang kakek melanjutkan. "Jadi, pelajaran tambahan untuk kau pelajari adalah ... memecahkan misteri itu. Agar kau bisa bertahan hidup."

"Aku tidak mengerti Kek."

"Wajar kau tidak mengerti, karena memang rumit dan membingungkan. Tapi kau harus terus mencoba melatihnya." Aku hanya mengangguk sekilas. Walaupun sebenarnya aku masih bingung, tapi setidaknya aku pura-pura mengerti saja. "Sekarang jawab tanyaku tadi."

Aku mengangkat sebelah alisku, menunggu kelanjutannya. Saat yakin tidak ada lanjutannya, barulah aku bersuara. "Pertanyaan yang mana Kek?"

"Apa yang kau lakukan tadi? Shalat setelah shalat subuh?"

Satu Cinta Menghancurkan SegalanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang