#duapuluhdua

16 1 0
                                    

Assalamu'alaikum..
Hai semua, selamat sore. Maaf ya, aku telat update. Karena beberapa minggu ini aku sibuk ujian. Insyaallah, kedepannya bakal ontime. So, ikutin terus ya.

------------------------------------------------------------

Suasana saat ini begitu mencekam. Bukan karena ketakutan akan hal mistik ataupun kegelapan. Karena bagaimana mungkin hal mistik bisa memasuki tempat suci ini. Tau aku dimana?

Hm, benar sekali. Aku tengah di mushala sekarang, lebih tepatnya mushala sekolahku. Aku duduk berhadapan dengan Kevin. Sudah lebih lima menit lamanya kami bertelepati lewat tatapan--tanpa bersuara sedikitpun.

Melihat tatapan Kevin, aku bingung mengartikannya. Ada kecemasan, ketakutan, kekecewaan, dan kemarahan juga tersirat di dalamnya. Sama halnya dengan tatapanku untuknya.

"Aku kecewa sama kamu, Ndre." Akhirnya, setelah sekian lama rangkaian kalimat itu keluar juga dari bibirnya. Satu hal yang dapat kuartikan, kalau Kevin sudah memakai bahasa formal dan memanggilku dengan panggilan nama itu artinya dia tengah memendam kemarahan yang begitu besar. Seketika aku jadi lebih suka kalau dia manggil aku dengan sebutan 'Bong'.

Aku hanya diam mendengar ocehan Kevin. "Kemarin aku minta kamu jujur sama aku. Aku sengaja memilih tempat suci itu sebagai saksi perbincangan kita. Karena aku pikir kamu benar akan jujur, sejujur-jujurnya. Tapi ternyata kamu malah menodai tempat suci itu dengan kebohongan kamu." Aku tetap diam mendengarkan. Karena mengingat ucapan kakek itu, 'Tidak boleh memotong pembicaraan orang. Tidak sopan namanya'.

"Aku minta kamu jujur itu cuma satu alasannya. Aku pingin tahu perasaan kamu ke Nina, itu aja kok. Jadi kalau aku udah tahu semuanya, aku bisa menentukan langkah selanjutnya. Mau mengikhlaskan Nina, atau menerima dia dengan senang hati."

"Aku akui aku memang punya perasaan yang sama seperti kamu ke Nina. Tapi aku rela berkorban demi kamu, sahabatku. Aku juga udah bilangkan waktu itu." Aku mengangguk. Entah itu pertanyaan atau apa, setidaknya aku sudah berikan respon. "Kenapa kamu lakukan itu, hah? Kenapa kamu nekat menyiksa hati kamu sendiri?"

Aku hanya menunduk. Sedari tadi memang aku hanya mendengarkan ocehan panjang Kevin sambil menunduk. Aku tidak sanggup melihat tatapannya yang bervariasi makna terhadapku. Ditambah lagi melihat matanya yang berkaca-kaca, itu jauh lebih menyiksa hatiku sekarang.

"Maafin aku, Vin."

"Aku gak butuh maaf kamu, Ndre. Gak butuh. Aku cuma mau penjelasan kamu sekarang." Balas Kevin dengan menaikkan intonasinya melebihi satu oktaf.

Salut aku sama kamu Vin, kamu memang sahabat terbaikku. Sepertinya aku memang harus menjelaskannya sekarang. Kebetulan juga Nina gak ada di sini.

Memang Nina tidak ada di sini. Maklumlah wanita, ada masa cutinya untuk beribadah.

"Sebenarnya aku…"

Baru juga aku mau menjelaskan. Si Kevin langsung memotong pembicaraanku. "Ngomong tu tatap muka lawan bicara kamu."

Dengan hati-hati aku mendongak menatap wajah Kevin. Kalian tahu? Ekspresinya mukanya begitu kusut sekarang. Matanya tidak lagi berkaca-kaca, tapi sudah terbentuk jalur air mata di pipinya. Memang kalau aku dan Kevin sudah bercerita masalah perasaan, kami sering terbawa perasaan itu.

"Sebenarnya aku memang ada rasa ke Nina. Dan itu udah lama banget. Waktu kamu mengenalkan dia padaku, aku udah merasa nyaman dengan dia. Aku bingung, sebenarnya perasaan apa yang aku miliki ini. Hingga seiring berjalannya waktu, rasa itu terus tumbuh dan berkembang."

"Jujur hati aku emang sakit dan tersiksa kemarin. Tapi entah kenapa aku ikhlas menjalaninya. Kamu tahu kenapa? Karena aku juga ingin melakukan seperti yang kamu lakukan. Aku mau berkorban untuk sahabatku juga."

Satu Cinta Menghancurkan SegalanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang