#tigapuluhdua

12 1 0
                                    

Harusnya aku menyadari itu, tapi kok … ah sudahlah. Aku berharap dia bisa segera merubah kebiasaan anehnya itu. Memang kami bersahabat, tapi tidak harus sampai begitu jugakan? Aku tidak mau Kevin sampai ketinggalan pelajaran karena kondisiku. Tapi apa boleh buat? Semua sudah terjadi.

~~~

"Gua capek Bong sekolah terus. Gua pingin libur, tapi mama dan papa gak  ngijinin. Walaupun gua sakit, tetap gak bakal dikasih. Tapi kalau gua libur karena lu, mereka ngijinin gua. Karena mereka tau, kalau urusan Andre si Bongsor gak 'kan bisa dibantah. Semakin keras mereka melarang, semakin keras juga gua melawan. Sampai akhirnya gua harus kabur gini."

Aku terperangah mendengar celotehan Kevin. "Gila lu, Vin." Aku masih tidak percaya dengan argumennya. Alasan macam apa itu? Tidak diijinkan libur kecuali untukku?

"Iya, mungkin gua gila. Gila karena otak gua korslet dipaksa belajar terus-terusan."

"Lu ngomong apa sih?"

Kevin memutar tubuhnya menghadapku. "Lu taukan gimana mama dan papa?" Aku mengangguk, karena memang aku tau. Mama dan papa itu tegas, disipilin, dan … ambisius. Mungkin. "Mereka kalau di rumah gak bakal ngijinin gua hidup bebas. Mereka selalu nyuruh gua belajar, belajar dan terus belajar. Bahkan terkadang gak cuma nyuruh, tapi maksa. Gua bukan robot Bong, yang bisa dipaksa terus. Sedangkan robot aja masih ada waktu pendinginan kalau dinamonya panas. Apalagi gua, sebagai manusia biasa." Kevin terdiam. "Kadang gua justru senang mereka pergi ke luar kota. Disitu gua baru bisa mendinginkan dinamo gua."

"Vin…." Aku mengayuh kursi rodaku mendekatinya. Sekarang aku mengerti kondisinya. Dari yang dia ceritakan, memang situasi seperti itu tidaklah menyenangkan untuk dijalani. Karena yang berawal dari paksaan itu tidak akan berhasil sepenuhnya. Tapi Kevin? Dia juara kelas, bahkan juara umum bertahan. Itu artinya dia berhasilkan? Dimana letak kesalahannya?

"Aku ngerti perasaan kamu." Kevin balas menatapku. Kulihat matanya memerah dan berkaca-kaca. Aku memegang lengan Kevin dan berdiri perlahan. Ralat, bukan perlahan. Tapi dengan hati-hati. Ingat, aku tidak lumpuh!

Setelah berhasil berdiri, aku merangkul tubuh tegap Kevin. Dan spontan Kevin pun membalasnya. Tidak terasa setetes buliran bening mengukir jejak di pipiku.

Sesaat setelahnya, pelukan kami terurai. Aku masih menatap lekat pada Kevin, begitu juga dengannya. Kami seperti lomba menatap.

"Tajam banget tatapan lu." Ujar Kevin tiba-tiba. Aku langsung terkesiap dan mengerjapkan mata berkali-kali. "Mirip tatapan … daddy."

Aku tersenyum tipis dan merubah tatapanku. "Tapi aku salut sama kamu. Kamu bisa bertahan selama ini. Justru kamu berhasil menjalaninya. Jauh dari kata berhasil malah."

"Berlebihan lu, alay." Ejeknya.

"Serius, Vin. Kamu hebat."

"Iyain deh biar cepet."

"Hmh." Aku mengatupkan bibir lagi. "Udah kamu pulang gih. Besok sekolahkan?"

Kening Kevin berkerut. "Lu ngusir gua?" Aku menggeleng. "Katanya ngerti, tapi sama aja lu dengan mama papa. Nyuruh gua sekolah mulu kerjanya." Keningku ikut berkerut bingung. "Udah gua bilang, gua bakalan sekolah kalau lu sekolah juga."

"Iya, besok aku masuk sekolah kok."

"Hah?" Kevin terbelalak. "Siapa yang ngijinin?"

"Lah, emang aku musti nunggu ijin siapa? Kamu? Gaklah ya."

"Emang bukan gua sih. Tapi ijin dari … pertama, dokter yang merawat lu. Kedua, mommy dan daddy. Ketiga, baru gua. Kalau yang dua udah nyatain 'iya', gua bakalan ngikut. Tapi kalau gak, jangan harap lu bisa sekolah. Gua yang bakal ngikat lu supaya gak kabur." Jelas Kevin panjang lebar.

Satu Cinta Menghancurkan SegalanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang