#tigapuluhdelapan

9 1 0
                                    

Halo everybody. Tak sabar melanjutkan cerita ini? Oke ini dia, part #tigapuluhdelapan. Happy reading 😊

-----------------------------------------------------------

Dam... Dam... Dam...

Suara dentuman itu mengusikku. Aku yang tengah melamunkan wanita-wanita pencuri hatiku, mendadak buyar karenanya. Ups, aku keceplosan. Dasar bodoh. Batinku merutuk.

Aku menepuk jidatku sendiri. Bisa-bisanya aku mengatakan 'wanita-wanita'. Otomatis kalian akan berpikir wanitanya lebih dari satu, benarkan? Satu diantaranya kalian juga pasti menebak 'Nina'. Ya pastilah, toh aku sudah menjelaskan secara terang-terangan. Tapi ... untuk wanita selanjutnya, apa kalian tau? Oke, aku akan biarkan kalian menebaknya. Siapapun bisa jadi mungkin, termasuk kalian juga. Hehehe.

Fokusku mendadak terkumpul kembali saat menyadari bola basket tengah memantul-mantul ke arahku. Sial, ini pasti ulah Kevin. Dia sengaja melempar bola padaku saat aku melamun. Untung responku cukup baik, sehingga dengan sigap aku menangkap bola itu. Sedikit saja terlambat, bisa-bisa bola itu bertukar posisi dengan kepalaku.

"Maksud lu apaan lempar bola ke gua? Kalau sempat gua gak nangkap gimana?" Emosiku bergejolak.

"Ya paling bolanya nanti nimpuk pala lu." Kevin cengengesan membuat emosiku semakin mendidih. "Sekalian gua mau ngetes respon lu. Dan gua gak nyangka respon lu cepet juga."

Aku balas melempar bola itu ke arahnya. Dengan sigap pula Kevin menangkap lalu mengapit bola itu dengan kedua tangannya. "Eh, kok lu lempar gua balek?"

"Kenapa emang? Gak boleh? Lu aja boleh, kenapa gua gak?"

"Oh jadi lu nantang gua?" Kevin memindahkan bolanya ke sisi kanan. Lalu berjalan mendekatiku.

"Emang lu berani?" Tantangku balik.

Tidak kusangka Kevin malah tertawa. Dan tawanya itu seakan meremehkanku. "Kalau lawan lu mah, cetek doang." Kevin mencuil kukunya. God, ini benar-benar penghinaan. Tidak bisa dibiarkan. Kevin sudah mengibarkan bendera perang padaku. Dan aku akan menghadapinya, untuk mempertahankan martabatku.

Aku bangkit dan berdiri tegap. "Lu pikir gua takut? Kalau gitu ayo kita tanding sekarang. Waktu 10 menit dengan dua set."

"Oke. Satu ring apa dua?"

"Satu aja."

Aku menyusul Kevin yang berdiri di tengah lapangan. Untung cuaca cukup berawan, jadi tidak terlalu panas. Dengan begitu tenagaku dan Kevin tidak akan cepat terkuras.

Kevin menanggalkan seragam sekolahnya. Sehingga kali ini ia hanya memakai T-shirt tanpa lengan dan celana pendek diatas lutut. Ini memang sering terjadi semenjak kami ditinggal Nina. Kami menjadi bebas untuk melakukan apapun bersama. Tidak terkecuali mandi juga. Wow, hikmah lainnya yang aku terima.

Beberapa langkah lagi aku sampai di posisi Kevin. Kulihat dia tengah menungguku sambil memijakkan bola dengan telapak kakinya. Lalu tangannya? Tentu saja ia lipat didepan dada. Wait, ini mau tanding basket apa futsal sih?

Saat aku sampai. "Apa taruhannya?" Kevin menyentak.

"Taruhan apa?" Tanyaku bingung.

Kevin berdecak. "Taruhan untuk tanding inilah. Iya kali taruhan main judi."

"Ah iya. Tapi taruhan itukan sama dengan judi. Dalam ajaran aku gak ada tuh namanya taruhan-taruhan." Aku berpikir sejenak. "So, I'm not agree."

"Gaya lu, ajaran kita sama kali." Cibir Kevin kesal. "Kalau gitu keuntungan untuk pemenang apaan?"

"Yaa, keuntungan. Boleh juga." Aku berpikir lagi. "Gimana kalau keuntungan yang menang bisa ngapalin Qur'an 30 juz."

Satu Cinta Menghancurkan SegalanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang