Arka vs Aksa

1.9K 105 16
                                    


....

Melihat Aksa duduk santai di sofa ruang tamu, membuat si tampan Arka berjalan menghampirinya. Kaos oblong dan celana olah raga melekat di tubuhnya membuatnya terlihat santai. Ya, ini hari minggu. Harinya untuk beristirahat dari beban tanggung jawabnya mengurus perusahaan keluarganya, Adyaksa Group.

"Tumben?"

"Kenapa? Elu enggak suka liat gua di rumah, Hmm?" ucap ketus Aksa tanpa menoleh pada Arka yang kini telah duduk di sisinya.

"Gua senang kok. Kejutan saja! minggu ini bisa kumpul sekeluarga. Tinggal menunggu adik kita yang satu lagi datang."

Pria beralis tebal itu langsung menoleh kasar pada Arka. Menatap tajam ke arah kakaknya itu.

"Kenapa? Ayah dan Bunda sedang dalam perjalanan menjemputnya dan setelah mereka datang, kita akan ... "

"Cukup! Dia bukan Bunda gua dan anaknya, pun bukan adik gua. Gua ... tidak punya adik! Bunda gua hanya Bunda Alya dan dia telah meninggal!" ucapan tegas Aksa membuat mulut Arka bungkap. Wajah Aksa memerah, matanya membulat menatap tajam Arka. Rahangnya mengeras bahkan, ponselnya yang berada di genggamannya terlihat retak layarnya. "Jangan pernah mengajak gua ke dalam rasa bahagia kalian yang dengan cepat melupakan bunda Alya dan mendapat adik baru. Jangan pernah!" Aksa berdiri dan mulai melangkah meninggalkan Arka yang diam.

"Aksa! Buang keegoisan elu. Gua mohon! Ini bukan hanya untuk kebahagiaan ayah tapi, kebahagiaan kita juga. Cobalah untuk mengerti hal positif dari situasi ini. Jangan menambah masalah!" ucapan tegas Arka membuat langkah Aksa terhenti. Tidak berbalik, tetapi sorot mata Aksa benar-benar tajam ke depan. Rasa panas di dadanya membakar darahnya dan mendidihkan emosinya. Kembali rahangnya mengeras dan tangannya mengepal kuat. Menghimpit ponsel yang berada di genggamannya.
"Rubah sifat keras kepala elu, Dek."

Prang ...

Dengan geram, Aksa membanting kasar ponselnya yang kini puing-puingnya berhamburan di lantai. Dengan gerakan cepat, Aksa berbalik dan beradu tatap dengan Arka yang kini pun telah berdiri dan menatap lembut kearah Aksa. "Jangan sok untuk menguasai gua!"

Bik Imas, pembantu yang berada di tempat kejadian karena sedang mengepel lantai, mengendalikan dirinya agar menganggap tidak terjadi apapun di hadapannya. Hal ini biasa terjadi. Jika biasanya Aksa berdepat dengan majikannya, Tora. Kini, Arka yang pendiam pun jadi salah satu musuh Aksa, Anak majikannya yang berjiwa brandal.

Bik Imas tahu pasti seluk beluk perubahan kelakuan Adennya yang semakin menjadi-jadi. Yang pertama, terlalu di manja oleh Bundanya. Kedua, pergaulannya yang bebas, ketiga, kematian Bundanya yang tiba-tiba dan yang keempat, pernikahan Ayahnya yang dadakan. Pemberontakannya benar-bemar tak bisa di kendalikan lagi.

"Bukan menguasai, Aksa. Gua hanya minta elo buat merubah sedikit sipat keras kepala elo. Ayah masih butuh pendamping, kita pun butuh kasih sayang seorang bunda,"

"Tapi tidak saat tanah makam bunda masih basah, kak. Betapa egoisnya Ayah. Bahkan, kepergian bunda belum 100 hari tapi, posisi bunda sudah di gantikan. Apa ... jangan-jangan kalian berkerjasama untuk menyingkirkan Bunda dan ...,"

"Aksa! Jangan gila dengan berpikiran seperti itu!!" mata Arka membulat sempurna. Tangannya mengepal menahan emosi.

"Terus ... Gua harus berpikiran seperti apa, hmm? Apa ayah sudah tidak kuat menahan nafsunya hingga membunuh bunda dan menikahi seorang janda beranak dua agar nafsunya yang mengunung itu bisa tersalurkan? Apa begitu?" Aksa berucap dengan nada menyindir.

"Aksa, bunda meninggal karna penyakitnya. Aku dan kak Linda menyetujui pernikahan ayah itu karna ...,"

"Karna kalian suka kematian bunda. Dan kalian merayakannya dengan sangat meriah. Hebat!"
Aksa menepuk-nepuk tangannya. Senyum miringnya membuat wajahnya semakin menjengkelkan.

Arka yang umurnya terpaut 3 tahun dari Aksa mencoba menutup matanya sembari menarik nafas dalam. Menghembuskan perlahan sambil membuka matanya. "Kita bisa bicarakan dengan kepala dingin, Aksa," ucapan Arka melembut. Dia sadar. Berbicara dengan Aksa yang notabenenya tak mau mengalah apalagi di salahkan bukan dengan suara membentak.

"Sayangnya, gua enggak ada waktu!" Arka berbalik membelakangi Arka.

"Sebelum meninggal, bunda menulis surat untuk ayah. Dan dalam suratnya, bunda menyuruh ayah menikah dengan teman lamanya yaitu tante Muara."

Aksa terdiam. Kembali memorinya memutar kenangan dimana dirinya merasa sangat tak pantas untuk di jadikan seorang anak kesayangan bundanya. Karena, saat bundanya meninggal, dirinya sedang nongkrong bereng sahabatnya dan berkibarnya bendera kuning di pagar rumahnya membuatnya seakan mati detik itu juga.

"Haruskan secepat ini, kak? Apa tidak bisa sampai tanah makan bunda mengering? Kenapa kalian setega itu, hmm?" suara Aksa bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca. Jika menyangkut Bundanya, Aksa akan sangat lemah. "Seumur hidup bunda menderita, kak. "Kangker servik mengerogoti tubuhnya. Bahkan, setelah bunda tiada pun dia masih merasakan penderitaannya. Di ganti dengan begitu cepat." Aksa terdiam mengepal erat tangannya. Mencoba mengunci emosinya.

"Ayah, terus di hantui bunda, Aksa. Bunda selalu masuk dalam mimpi ayah dan mengatakan untuk segera melakukan amanah yang bunda berikan."

"Omong kosong!" Aksa menyeka air matanya sendiri. Entah sejak kapan air matanya mengalir. "Hal seperti itu mustahil terjadi. Gua kira elu dan kak Linda sudah dewasa ternyata ...," kekehan pelan terdengar mengejek di telinga Arka.

Arka kembali menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Sekali lagi, dia harus mengontrol emosinya. "Ayah, tidak fokus pada pekerjaannya. Kami hanya kasian. Lagian, pernikahan telah terjadi. Bisakah kamu menyesuaikan keadaan? Demi amanat Bunda?"

Aksa mengeleng.

"Aksa, Ayolah!kita harus rukun. Itukan yang selalu bunda katakan?" Arka maju dua langkah untuk mendekati Aksa. Memegang pundak kanannya yang langsung di tepis kasar oleh Aksa.

"Gua tetap pada sumpah gua, kak!" Aksa melangkah pergi menuju pintu utama. Menendang keras ember pel bik Imas. Membuat air tampias dan berhamburan kemana-mana. Bik Imas hanya menunduk.

Ting-Tung

Saat Arka siap memegang handle pintu, seketika itu juga bel pintu berbunyi.

Arka mundur dua langkah. Membiarkan bik Imas yang membuka pintu. Arka, tak ingin emosinya meledak pada dia yang tak bersalah.

Lama berbincang, akhirnya bik Imas masuk. Masih tetap menunduk di hadapan Aksa. Bik Imas pun takut jadi sasaran empuknya.

"Siapa?" nada emosi masih terdengar jelas di pertanyaan Aksa.

"Peminta sumbangan, Den." setelahnya bik Imas kembali ke pekerjaannya.

Ting-tung

Bel kedua berbunyi saat Aksa kembali akan memegang handle pintu. Seketika rahang Aksa mengeras. Raut wajah marahnya semakin menjadi-jadi.

Dia memutar tubuhnya dan melangkah ke arah Bik Imas. Mengambil ember yang berisikan air kotor. Menjijingnya ke arah pintu.

Kriek..

Suara denyit pintu terbuka.

Byuuur...

Tanpa tahu siapa gadis yang berdiri di hadapannya dan memberikannya senyuman manis, Arka langsung menyirakan air kotor itu ketubuh tamunya dan, maju dua langkah untuk menaruh ember kosong ke kepala sang tamu.

Meeeooong..

Kucing itu melompat dari pelukan majikannya dan berlari entah kemana.

"Kalau minta sembangan itu tahu waktu. Minta sumbangan di pagi buta!" umpat kesal Arka sembari memukul ember dan pergi dengan langkah mantap.

.... tbc ....

Hanya akuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang