Chapter 4-Hutan yang Membusuk

13 2 0
                                    

Garis senyum nampak di wajahnya. Vara berdiri memeras kedua rambutnya yang terkucir dengan mata mengawasi wanita berbaju merah itu. Beberapa detik mereka saling menatap dalam diam. Dan beberapa detik selanjutnya wanita itu berubah menjadi asap hitam dan muncul di sampingnya.

"Hai gadis manis," sapanya memajukan wajah. "Rupanya kita ditakdirkan bertemu di sini, aku ingin menyapamu semalam, tapi karena kau bersama bocah itu aku jadi tak bisa menampakkan diri," ia berjalan di belakangnya, berpindah ke sisi yang lain.

"Siapa?"

"Kita pernah bertemu di hutan belakang sekolah, Andrago juga ada di sana."

Vara mengerutkan kening mengingat-ingat. "Yang mana? Banyak yang kutemui di hutan. Dan siapa juga Andrago?"

"Ingatanmu sungguh buruk ya, padahal Andrago sangat mengenalmu. Oke, lain kali akan kukenalkan jika kau mau, sekarang ada hal yang ingin kutawarkan padamu."

Hewan yang sedari tadi di tangannya melompat ke air, membasuh diri.

"Jadilah anggota kami, kekuatanmu sangat cocok kami. Dengan kekuatanmu kita bersama bisa mengendalikan dunia bersama. Tuan Eun akan memberi apa saja yang kau inginkan jika bergabung dengan kami."

"Tak butuh," ia mengibaskan rambut basahnya dengan cuek.

Melia menatapnya.

"Apa... maksudmu mengendalikan dunia?"

"Patron, kami menginginkan patron. Gadis manis yang sekarang berusaha menyembukahkan tempat ini."

"Kau pelakunya? Dengan hewanmu itu?"

"Aaah, kau jeli sekali sayang," ia membelai rambut Vara dengan dua jarinya. "Pikirkan sekali lagi, jika kau berminat, aku akan memberitahu segalanya."

Meila memberi isyarat pada hewan itu untuk kembali. Melihat seseorang muncul di ujung sana ia bersiap pergi.

"Kau bisa tanyakan apapun ke Andrago, bye-bye," ia menjadi asap dan melayang ke langit.

Rai menghentikan larinya dan berhenti di jembatan, terperangah melihat keadaan pepohonan di dekatnya. Melepas earphone, kakinya menaiki jembatan dan langsung melompat, menghampiri perempuan yang dilihatnya dari awal. Vara yang masih melihati langit tak menyadari kehadirannya. Bahkan saat Rai sudah berdiri di sampingnya.

"Liat apa?" Rai ikut menatap langit.

Vara menoleh cepat mendengar suara yang tiba-tiba muncul di telinganya. Tak menjawab ia hanya memandanginya.

Rai kembali melihat Vara dengan poni basahnya. "Kau habis renang atau apa?"

"Cuci muka," ucapnya memeras poni.

Rai diam sejenak menatapnya. "Matamu.. berubah warna? Kemarin rambutmu, sekarang matamu, Jadi mana yang asli?"

"Bukan urusanmu!" ia berpaling.

Memang bukan urusannya. Ia tak lagi mengatakan sepatak kata, tak ingin mengubah suasana menjadi suram. Yang lebih penting sekarang adalah tempat yang diinjaknya. Pohon yang masih hijau di samping pepohonan yang membusuk itu mulai dirambati warna keorenan. Jika terus berkelanjutan, bisa-bisa semua pohon akan ikut membusuk.

Ia berbalik ke sungai, mencelupkan tangannya ke air. Dua aliran air dengan cepat keluar menuju pepohonan. Bagai diguyur, air itu cepat membalut seluruh bagian tempat yang membusuk dan langsung mengerak menjadi es beku. Hawa dingin langsung terasa di kulit mereka.

"Keren," ungkap Vara saat melihat asap es. "Tapi percuma saja jika nanti matahari mencairkannya," kritiknya.

"Sebelum itu terjadi Mafea akan mengatasinya," ia berdiri mengibaskan tangan. "Hei, sejak disini, kau tak melihat sesuatu yang mencurigakan atau aneh?"

BEARER OF DEATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang