Malam menjelang dengan bulan setengah lingkarannya. Mafea masih tak sadarkan diri terbaring di kasurnya dan Vara duduk terikat di suatu ruangan tertutup dengan mata terbalut kain. Tatonya-pun sudah tertutup kembali. Kaloy dan Zoyamo berdiri di hadapannya menghela nafas putus asa. Petanyaan yang dilontarkannya dari tadi sama sekali tak dijawabnya. Hanya nafasnya yang terus beradu tanpa membuka mulutnya sedikitpun. Ia terus terdiam seperti orang bisu.
Pintu terbuka dan Amor masuk bersama Brain.
"Bagaimana?"
"Ia tak membuka mulutnya sama sekali," jawab Zoyamo.
Amor maju. "Kau tak mau bicara sedikitpun? Menjelaskan apa yang telah kau lakukan?"
Vara mengangkat kepalanya sedikit, menghela nafas kasar. "Aku tak suka menjelaskan sesuatu, itu takkan merubah keadaanku."
"Aku tak mengerti dengan jalan pikiranmu, tapi jika kau tak ingin menjelaskan perbuatanmu tadi kami tak bisa memperlakukanmu sebagai murid seperti biasanya. Karena kau telah melukai Patron."
Vara diam dan diam. Pikirannya berkecamuk dengan apa yang telah dilakukannya. Menyesal tapi juga tidak menyesal. Beberapa kali ia tersenyum tipis. Mereka yang melihatnya terheran-heran.
"Aku akan meninggalkanmu disini sampai kau bicara," Amor berbalik, berjalan keluar.
Brain mengikutinya, "tuan Amor, tak apa membiarkannya begitu? Ia belum makan."
"Kau mengkhawatirkan orang yang telah melukai Mafea?"
"Uh, bukan begitu. Ia tak melawan sama sekali tadi ketika Zoya menangkapnya. Kurasa dia tak berniat jahat. Bisa jadi dia menyerang dengan kupu-kupu itu, tapi dia hanya diam saja."
Amor diam berfikir. Dari arah mereka berjalan, bibi pengurus rumah berlari tergopoh-gopoh menuju mereka.
"Tuan Amor...!"
"Naema, ada apa?"
"Mafea... Mafea, tuan," wajah Naema terlihat cemas dan takut.
Amor dan Brain segera berlari diikuti Naema. Di kamarnya Mafea duduk memeluk lututnya. Rambut panjangnya yang terurai menutupi wajahnya. Amor menghampiri dan duduk di sampingnya. Merangkul bahu cucunya.
"Mafea..."
Mafea menoleh. "Kakek?"
Ia meraba udara dengan jarinya dan menyentuh dada Amor. Dengan raut wajah bingung dan sedih ia menghantam tubuh Amor, memeluknya. Amor kaget melihat reaksi Mafea yang tiba-tiba.
"Kakek.... mataku..." air mata menggenang di pelupuk matanya.
"Kenapa dengan matamu?!" tanya Amor memutus ucapan Mafea, khawatir.
"Aku tak bisa melihat.. semuanya putih."
"Apa?!"
~~
Mafea berdiri di depan jendela. Membiarkan wajahnya terpapar matahari. Cahaya berwarna pelangi menyelubungi tubuhnya. Interaksi yang dilakukannya setiap pagi dengan alam. Tapi kali ini ia hanya bisa melakukannya di dalam kamar. Keadaan membuatnya tak bisa keluar dari dalam rumah. Meskipun matanya tak bisa melihat ia bisa merasakan gerak-gerik di sekitarnya. Anak-anak yang berangkat sekolah, sepeda yang diayun, pohon yang tertiup angin, kumbang-kumbang yang terbang, air yang mengalir, tendangan batu dari anak yang lewat di depan rumahnya.
Pikirannya tak lepas dari kejadian yang dialaminya kemarin. Matanya tak merasakan sakit setelah ia membuka matanya. Tapi perasaan ketika kupu-kupu itu masuk di matanya masih membekas.
'Apa aku salah meminta bantuannya? Apa dia memang bahaya untuk di dekati? Lalu kenapa setelah menolak ia malah melakukan hal itu? Apa dia merasa kesal? Marah padaku?'
KAMU SEDANG MEMBACA
BEARER OF DEATH
FantasiMakhluk hidup yang membahayakan nyawa manusia. Kupu-kupu yang hidup di dalam tubuh seorang gadis remaja yang menjadikan ia dikenal dengan sebuatan Bearer of Death, si pembawa kematian. Karena suatu alasan di masa kecil jiwa mereka menjadi satu. Var...