Chapter 6 : Ruang Perlengkapan"Takdir sepertinya setuju jika aku memilih untuk tetap menyukaimu."
-Bima Johannes-Seorang pria di samping Bima terus mengangkat kedua alisnya ketika pandangannya menjelajah lapangan indoor yang sengaja ia datangi. Setiap sudut dia amati, bahkan murid-murid yang sedang berada di tempat ini pun dihitungnya.
Terlihat ada yang membersihkan kaca, bola-bola, sampai ada juga yang berlarian untuk mengepel lantai lapangan yang luas ini.
Yahh, meskipun terdengar banyak yang mengeluh karena tidak ikhlas melakukannya.
Pria itu menepuk pundak kiri Bima dan membuat Bima melirik ke arahnya,
"Bagus! Kelas paling bandel di sekolah ini bisa kamu bujuk buat ikutan kerja bakti." ucapnya.Bima memasukkan kedua tangan di dalam saku,
"Ini pembuktian, kalau saya benar-benar serius dengan apa yang saya inginkan." balas Bima sengit."Menjadi penerus sekaligus kepala atau guru di sekolah ini akan menjamin kehidupanmu."
"Jadi, apakah keinginan saya tidak akan menjamin kehidupan saya?" sahut Bima membuat tangan pria itu terlepas dari atas pundaknya.
"Saya sudah bersabar ketika anda membuat perjanjian tentang magang di tempat ini. Tapi untuk menjadi penerus atau sebagainya, meskipun anda sebagai kakak saya berusaha keras untuk membujuk. Maaf, Pak Dewa, saya sama sekali tidak berminat."
Orang bernama Puntadewa Johannes, pria berumur 33 tahun yang notabene penerus kedua dari SMK Bangsa, menatap datar punggung adiknya yang mulai pergi menjauhi tempat di mana dia berdiri.
Dia masih tidak habis pikir. Bima sudah diberikan kehidupan yang enak dari usaha mendirikan sekolah dari ayah mereka. Namun bukannya menikmati dan meneruskan perjuangan beliau seperti yang dilakukan Dewa, Bima justru memilih hal yang menurut Dewa hanya akan membuang waktu tanpa mengasilkan sesuatu untuk masa depan Bima sendiri.
🍑🍑🍑
Di saat banyak orang sibuk dengan tugas mereka, Bima yang sedang berjalan perlahan mendengar percakapan antara tiga siswa yang berhenti melakukan aktivitas bersih-bersihnya, Bima pun memutuskan untuk mendekat.
"Wah, iya ya. Senja emang cantik." ucap Dido seraya membenahi letak kacamata yang ia pakai saat mengamati setiap senti wajah gadis yang sedang mereka bincangkan.
"Kalo aja sering senyum, pasti idaman deh." sahut Rio.
Seorang Sena sedang menumpu dagu di punggung tangan yang menggenggam atas gagang sapunya langsung melirik Rio.
"Dia sering senyum kok ke Rere."
Cowok itu kembali melihat Senja.
"Senyum Senja dijadiin taruhan. Kalian mau bantu gue?" lanjut Sena.
Kaki Bima berhenti sedetik setelah Sena mengucapkan kalimat itu. Entah kenapa Bima penasaran dengan apa yang akan direncanakan bocah satu ini.
"Lah, apa untungnya buat kita coba?" cibir Rio.
Sena segera menegakkan badannya,
"Kalo gue menang taruhan itu, kalian bakal gue kasih free di warnet sampai kita lulus." ujarnya.Dido langsung menyentuh lengan Rio dengan ujung sikunya dan membuat cowok itu menoleh lalu mengeryitkan keningnya.
Rio menghela napas ketika Dido memasang raut wajah memelas karena janji manis dari Sena. Sejujurnya Rio sangat malas melakukan hal seperti ini, tapi jika mengingat warnet yang akan digratiskan selama lebih dari 5 bulan dan Dido yang notabene pecandu game online adalah sohibnya, Rio tidak bisa menolak.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Teacher, My Boyfriend
Teen Fiction[Completed] Bagaimana jika gurumu sendiri menyukaimu? Senja, hidupnya benar-benar menjadi tidak tenang. Senja sering merasa kesal jika gurunya bertingkah seenaknya. Gurunya ini selalu ikut campur, selalu menggoda, selalu sok keren plus sok ganteng...