Prolog

90.7K 4.1K 25
                                    

Langkahku tertahan, untuk kemudian berdiri tepat dibelakang salah satu pohon palm yang menjulang tidak begitu tinggi di halaman rumah, ketika dengan tanpa sengaja telingaku menangkap suara percakapan seseorang yang berada depan sana. Tinggi pohon yang menghalangi bias cahaya lampu, membuat keberadaan tempatku berdiri, temaram. Tidak ada alasan untukku berdiri seperti orang yang dengan sengaja menguping pembicaraan mereka, namun kedua kakiku tidak juga meneruskan langkah.

"Hubungan kita udah lebih dari dua tahun sayang, wajarkan kalo aku minta hubungan ini berlanjut ke jenjang yang lebih serius." Aku mengenali suaranya, lalu kemudian dibalas suara lain.

"Kamu pikir aku tidak menganggap serius hubungan ini?" Aku mengintip melalui badan pohon, dari sini aku dapat melihat dengan jelas perempuan itu menghadapaku karena lampu depan rumah yang menyala terang, sedangkan yang laki-lakinya membelakangi. Tidak ingin sama terlihat sama persis seperti penguntit, kembali aku melindungi diri di balik pohon. Tapi telingaku tetap mendengar percakapan yang berlanjut itu.

"Tentu saja tidak. Aku perlu bukti jika hubungan ini memang serius Rey."

"Masuklah, kita bicarakan ini lagi nanti." Suara ketukan sepatu di lantai itu seperti akan meninggalakan tempatnya.

"Sayang-"

"Nisha, Kupikir kamu mengerti bagaimana keadaanku saati ini."

"Aku mengerti sayang. Kamu sendiri yang bilang akan segera melamarku."

"Tentu saja aku tidak lupa, dan itu akan terjadi jika kedua orangtuaku sudah kembali kesini. Mereka akan kembali di Ulang Thun Haru." Hening, yang kupikir jika kedua orang itu sudah pergi dari sana, dan mungkin ini saatnya aku keluar. Pegal juga berdiri tidak melakukan apapun bahkan bernapas hati-hati agar mereka tidak melihatku, Tepat ketika aku melangkahkan kami kanan keluar dari persembunyiannya mataku terbelalak mendapati pemandangan yang tidak seharusnyaku lihat, tapi terlambat untuk menarik langkah kebelakang ketika mata itu menangkap keberadaanku.

Aku menunduk dan hendak melanjutkan langkah, berpura-pura tidak lihat. Sayangnya suara itu membuatku mau tak mau meliriknya.

"Ngapain lo berdiri disitu, mau ngintip!" Aku tidak perlu menjawabnya, karena dia bukan bertanya melainkan menuduh. Aku berjalan ceoat melewati kedua orang itu. belum sepebuhnya menjauh ketika perempuan itu berbicara lagi dengan suara kerasnya.

Sayang, ngapain sih kamu liatin orang itu?"

"Memang dia siapa?"

"Dia bukan siapa-siapa. Cuma numpang, gak penting banget sih kamu nanya-nanya dia." Menghela aku kembali melanjutkan langkah, dan otakku mengulang ucapan perempuan itu.

Bukan siapa-siapa?

Yah begitulah, bukan siapa-siapa dan tidak penting bagi mereka. Bahkan untuk seseorang yang menjadi satu-satunya penopang hidupku, seperti enggan mengenaliku lagi.

Ku hembuskan napas kasar sebelum kemudian membuka pintu, aku masuk kedalam lalu menutup pintu. Dan berharap rasa sesak yang bergelung dalam dadanya tertinggal di luar sana, pergi jauh di bawa oleh angin malam.

***

Belahan Jiwa (Sudah Jadi Buku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang