Empat Belas

35.4K 3.1K 135
                                    

Setelah mendengar pintu di tutup, aku membuka mata yang tadinya berpura terpejam. Pak Rey keluar setelah yakin aku baik-baik saja, dia menyuruhku istirahat setelah menghabiskan setengah makanan rumah sakit.

Bangun dari rebahan, aku menghela napas panjang. Menarik kaki untuk ku tekuk, dan memeluknya. Aku termenung di atas ranjang hangat rumah sakit ini.

Kata-kata pak Rey beberapa saat lalu terngiang-ngiang di telinga. Benarkah dia akan merawatku hingga aku melahirkan?

Memintaku untuk tinggal di tempatnya. Dan saat ku pikir bahwa aku tak punya pilihan lain, aku menyetujuinya dalam diam.

Karena kini aku sudah terusir dan tak punya tempat tinggal lagi, dan untuk mencari rumah sewaan dalam kondisi seperti ini juga bukan ide yang bagus. Lebih malang lagi, aku tidak memegang uang seperserpun saat ini, dan menyewa rumah memerlukan uang.

Namun tinggal di tempat pak Rey bukan merupakan ide yang cemerlang juga. Sayangnya aku membutuhkan tempat tinggal dan pak Rey satu-satunya orang yang menawarkan karena tahu dengan apa yang terjadi padaku.

Bahkan Ayah tega mengusirku tanpa berpikir dua kali, anehnya, aku meraba dada. Ku pikir tak ada perasaan benci dengan perlakuan Ayah padaku semalam.

Kekecewaannya dapat ku maklumi, meskipun aku tidak bisa memaklumi perlakuan tante Dewi yang mengharuskan ku di bawa ke rumah sakit.

Sementara aku masih memikirkan Danisha. Wanita mana yang akan terima begitu menemukan fakta jika tunangannya menghamili wanita lain, orang yang di bencinya sejak ia masuk ke keluarga Adinata.

Tapi mungkin menuruti saran pak Rey untuk lebih mengkhawatirkan diriku sendiri bukan ide yang buruk. Dan juga, janin di perutku yang harus lebih ku perhatikan.

Janin?

Aku menenggelamkan kepalaku di antara kedua lutut. Bertanya-tanya dengan keraguan.

Bisakah aku menjaganya?

Di tengah masyarakat yang memandang sebelah mata pada anak yang dilahirkan tanpa hubungan jelas dari orangtuanya.

Tapi berharap lebih kepada pak Rey yang hanya sekedar akan merawatku hingga melahirkan, akan sangat terlihat tidak tahu diri. Secara kasarnya, aku sudah masuk ke dalam hubungan dua orang yang aku tahu sedang dalam proses berjalan ke arah pernikahan. Jadi tidak mungkin pak Rey akan menikahi wanita lain selain tunangannya.

Lagipun tak ada niatan untukku memberitahunya, jika saja dia tak datang dan melihatnya malam tadi, dan yang ku sembunyikan di ketahuinya.

Sejujurnya hatiku sedikit mencelos saat mendengar tawarannya. Saat dia mengatakan akan membebaskanku setelah bayi ini lahir, sama saja dengan mengatakan dia akan mengambil bayiku. Keningku mengerut, apa dia pikir aku akan memberikannya begitu saja?

Dipikirnya aku mesin penampung anaknya! Kok perasanku jadi tiba-tiba kesal yah.

Suara engsel pintu yang membuyarkan lamunanku. Aku menoleh melihat gerakan pintu.

Siapa? Apa pak Rey? Aku melihat ke sekeliling, apa dia ketinggalan sesuatu?

Tapi seseorang yang muncul di ambang pintu membuatku ku terkesiap.

Bukan pak Rey, melainkan Danisha yang membuka pintu. Memberi tatapan dengan kebencian yang tercetak jelas di wajahnya. Aku menelan ludah, namun berusaha untuk tak tertindas.

Berderap maju setelah menutup pintu dengan ayunan kasar, suara langkah heels nya terkesan angkuh, dia mendekati dengan sorot tajam menusuk, aku tetap bertahan untuk tidak terintimidasi.

"Bilang kalau itu bohong?" Ada ketidak tegaan saat ku lihat dengan jelas matanya yang memerah, seperti habis menagis. "Bilang itu bukan anak Rey!" Suaranya lebih lantang dan bergetar.

Belahan Jiwa (Sudah Jadi Buku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang