Tiga Puluh Tiga

38.1K 4.4K 479
                                    

Semakin di perhatikan mulut mungil yang menghisap sari kehidupannya, semakin aku takjub dan menyukainya. Mata bening yang mengerjap-ngerjap membuatnya tampak persis seperti malaikat.

"Laper banget yah dia." Berbisik pelan agar tidak  membuat makhluk kecil nan menggemaskan di pangkuan Abi terganggu. Sudah sejak beberapa menit yang lalu anak lelaki Abi belum juga melepaskan bibirnya dari dada sang ibu, sampai Abi sendiri meringis oleh hisapan kuat anaknya.

"He'eh,"

Abi melahirkan tiga minggu yang lalu, tepat seperti perkiraan dokternya, yang juga telah menjadi dokterku. Dan sudah dua kali dalam dua minggu ini aku datang ke rumah mertua Abi, berkunjung dan bermain dengan bayi Abi.

Dan untukku sendiri, hanya tinggal menunggu dua minggu lagi untuk bisa menikmati hal semacam ini.

Ada berbagai macam pengalaman yang Abi alami selama ia menunggu lahirannya, yang menjadi bekal untukku nanti. Katanya rasa sakit melahirkan itu tidak ada duanya, Abi tidak bisa menggambarkan rasa sakitnya dan terus terang saja itu membuatku deg-degan karena takut. Namun ia juga menceritakan bagian yang menyenangkan begitu Arsen, nama yang di berikan pada anak lelakinya. Melihatnya tidak kekurangan apapun serta sehat. Sampai Abi menceritakan bagian yang membuatnya berseri-seri namun memberi efek miris untukku. Kebahagiaannya melahirkan di dampingi Adam, suaminya.

Tarikan napas menyeretku kembali untuk melihat Abi yang menarik napas lelah, yang kemudian mengeluh melihat anaknya yang baru saja siaga kembali tidur dengan mulut yang masih menempel di dadanya. "Siap-siap aja semaleman begadang." Diucapkan dengan nada pasrah namun tak urung tersenyum juga.

"Adam suka ikut bangun kalo Arsen begadang?"

"Seringan dia yang nemenin anaknya begadang sih." Katanya memperlihatkan cengiran di wajahnya, aku mendengkus geli.

Dan baru saja namanya di singgung, orangnya datang dari arah ruang tamu. Menuju kami yang tengah duduk di sofa ruang tengah.

"Udah pulang?" Ku dengar Abi menanyakan suaminya.

"Iya." Suaranya semakin mendekati kami, lalu dia duduk di samping sebelah kiri Abi. Dan aku yang duduj di sebelah kanan Abi tengah mengecek ponsel, dan mendengar percakapan mereka yang amat dekat dengan jarakku.

"Udah makan?"

"Belum."

"Mandi dulu aja, sambil aku siapin makannya."

"Nanti. Loh anaknya Papah udah tidur."

"Tepatnya gak bangun-bangun. Melek kalo laper aja."

"Enggak apa-apa, nanti malam kan bangun."

"Papa yang nemenin yah, mamahnya capek."

"Kan biasanya juga." Menggigit bibir bawah dengan pemandangan yang di sajikan di depanku, tidak melihat mereka sebenarnya karena tertunduk fokus ke ponselku. Memang Adam dan Abi tidak berbuat apapun, namun interaksi dan komunikasi yang aku dengar barusan menyentil sudut hati kecilku, melebarkan bibirku untuk tersenyum selagi ingin lamit pulang. Ada alasan yang tepat selain rasa iri menyelubung di dadaku, sudah tiga jam aku berada disana.

Rasanya tidak relevan jika aku harus bersirik hati karena keberuntungan Abi yang memiliki Adam, yang sudah tidak di ragukan lagi sangat menyayanginya dan anak mereka. Menjadikannya keluarga kecil yang bahagia. Aku juga bisa bahagia meski hanya dengan anakku nanti, pikiran itu tentu untuk membesarkan hatiku.

Pulang ke rumah yang sudah satu bulan ini ku tempati. Rasanya seperti kembali ke masa lalu, tanpa kedua orangtuaku. Meski begitu ada perasaan hampa, seseorang terus memganggu pikiranku namun harus segera ku enyahkan.

Belahan Jiwa (Sudah Jadi Buku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang