Satu

61.2K 3.5K 42
                                    

Jam sudah menunjukan hampir mencapai tengah malam, tapi tidak mengurungkan niatku untuk mandi menggunakan air dingin. Tubuh yang penat setelah seharian bekerja kini terasa sangat segar dan seluruh urat syarat dalam tubuhku yang meregang menjadi rilex. Menunaikan kewajiban sholat yang tertunda tadi, lalu kemudian menyingkap selimut dan masuk kedalamnya, bergelung menghangatkan tubuhku.

Harusnya lelah dapat membuat mataku cepat tertutup. Hingga 30 menit berlalu pun, pintu alam mimpi belum juga ku gapai, dan kantuk semakin menjauh.

Menyerah untuk terpejam, kubiarkan kedua kelopaknya mataku terbuka, pandanganku langsung menatap langit-langit kamar, meski kedua bola matanya melihat lampu yang mati di atas sana, namun pikiranku melanglang buana. Tanpa ku mau, ucapan perempuan tadi terus terulang.

Dia bukan siapa-siapa.

Tentu saja aku bukan siapa-siapa bagi mereka. Bahkan untuk untuk menyebut namaku saja, seperti itu adalah hal yang berat untuk mereka. Sekalipun namaku tidak pernah aku dengar di sebut, mereka hanya menyebut dia atau memanggil dia yang lebih parah kalo tante sudah memanggilku dengan sebutan anak dari perempuan sial.

Aku meralat dalam hati, ibuku bukan perempuan sial! Dan namaku Nami. Namira Ardiana.

Mendesah pelan, aku bergerak mengubah posisi menjadi menyamping dengan kedua tangan kuselipkan dibawah telinga.

"Jangan di pikirkan. Abaikan. Dan cepat tidur." Ucapku menghibur diri sendiri, namun tetap kelopak mataku enggan bergerak kebawah. Dan kini ingatanku berkelana. Menjelajah. Berandai-andai dengan masa lalu.

Memutar kembali memori kenangan masa kecilku, senyum lebar tidak pernah terlepas dari bibir mungilku dulu. Mata yang penuh dengan binar kebahagiaan terus menyala, hidup bersama dengan orang tercinta menghangatkan jiwa raga.

Keceriaan, canda tawa dan keharmonisan sebuah keluarga aku dapatkan. Meskipun hidup kami tidak mewah, namun aku sangat bahagia. Memiliki oprangtua yang aku tahu sangat mencintaiku, Mamah yang selalu ada untukku setiap saat, Ayah yang selalu memanjakanku setiap kali. Tidak ada lagi yang aku inginkan, ketika kebahagiaan itu dalam genggamanku. Mengelilingi kehidupanku.

Dulu, begitulah aku berpikir. Namun aku lupa jika Tuhan mungkin mempunyai scenario yang tidak akan pernah bisa di prediksi oleh manusia.

Mamah jatuh di lantai dapur karena minyak yang aku tumpahkan, kepalanya menghantam ubin ketika jatuh. Mamah yang mempunyai riwayat jantung meninggal dunia dia rumah sakit. Aku tidak paham apa yang dokter katakan, tapi aku sempat mendengar lelaki berjas putih itu mejelaskan pada Ayah, jika Mamah mengalami pendarahan dan menyumbat di otaknya yang menyebabkan beliau tidak bisa lagi bertahan. Usiaku baru menginjak 10 tahun kala itu, belum bisa mengartikannya. Yang kutahu Mamah pergi meninggalkan aku dan Ayah.

Seketika semuanya berubah, ketika duka masih menyelimutiku, sedih masih bergelayut di hati. Sikap Ayah tidak seperti biasanya, Ayah menghindariku, tidak pernah mau bicara denganku lagi, sering meninggalkan rumah, dan pulang dalam keadaan mata yang memerah dan bau yang tidak kusukai. Malam itu puncaknya, Ayah marah-marah ketika aku telat membukaan pintu dan satu katanya menamparku, Ayah menyalahkan aku atas kepergian Mamah.

Sejak malam itu juga aku tidak berusaha mengajak Ayah bicara, membiarkan kesunyian tanpa percakapan lagi di rumah itu. Sejak saat itu, tidak ada lagi canda tawa di rumah, keisengan ayah padaku, dan teriakan Mamah yang menyuuh kami makan. Mata ceriakupun redup, terganti oleh tatapan kesedihan dan bersalah.

Aku berusaha membangun diriku agar menajdi anak yenga tegar, mandiri dan tidak menyusahkan Ayah.

Lalu, pagi itu seorang wanita yang sepertinya usianya di atas tante Abi, -sahabatku- mengetuk pintu. Tas berwarna merah mengkilat menjadi objek pertama yang aku lihat begitu pintu ku buka. Mata tajam itu menyorotiku begitu aku mendongakan kepala. Dalam hati aku bertanya, siapa dia?

Belahan Jiwa (Sudah Jadi Buku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang