Dua Puluh

32.8K 3.3K 147
                                    

Bukannya aku mensyukuri ibunya Mitha masuk rumah sakit, bagaimanapun aku ikut khawatir dengan ibu temanku itu. Namun aku sedikit lega, karena telepon itu setidaknya untuk saat ini rahasiaku masih amin.

Setidaknya beberapa menit lalu aku bisa lega sebelum masalah lain datang.

Saat ku dengar suara ketukan sepatu yang beradu dengan lantai menggema mendekati ruangan, kepalaku terangkat untuk melihat seorang wanita yang masuk. Rok span hitam selutut yang di padu padankan dengan blouse biru muda melekat pas di badan wanita yang berdiri di tengah ruangan. Matanya terlihat seperti sedang mencari seseorang. Pandangannya terarah padaku dan mbak Sava bergantian.

"Mbak Namira?" Terlihat kebingungan tidak mengenali orang yang di carinya.

"Saya." Jawabku akhirnya yang lantas membuat senyum di bibir wanita itu merekah, kemudian ketukan sepatunya terdengar lagi saat mendekatiku.

"Saya di suruh menyampaikan pesan dari pak Rey. Jika mbak Namira sudah selesai bekerja, diminta untuk ke ruangannya." Usai mengatakan itu, wanita yang ku tahu adalah sekretaris pak Jun dulu, memutar badan dan keluar melalui pintu yang tadi dimasukinya.

"Kenapa pak Rey minta lo ke ruangannya?" Aku menoleh pada mbak Sava, kenungnya mengerut dalam matanya memincing curiga.

"Saya gak tahu mbak." Hanya itu yang bisa ku jawab, karema aku tidak tahu kenapa pak Rey menyuruhku untuk ke ruangannya.

"Lo gak bikin masalah apa-apa kan Nam?" Kini mas Andi yang bertanya. Aku menggeleng.

"Kalo pun iya, harusnya dia di panggil pak Pur bukan pak Rey. Lo beneran gak bikin masalah Nam?" Kembali ku gelengkan kepala lagi, aku tahu aku tidak membuat masalah apapun yang berhubungan dengan pekerjaanku, dan yang di katakan mbak Sava benar. Jika pun iya, bukan pak Reynand yang harusnya memanggilku.

"Gak mungkin lo di panggil kalo gak ada masalah." Aku menghela, mengangkat kepala untuk menatap mbak Sava dan kembali menggeleng memutuskan pertanyaan-pertanyaan yang membuat perutku melilit tiba-tiba.

Ada apa lagi sih ini? setelah aku lolos dari Mitha, kini pak Rey membuat dua orang lainnya berpotensi menaruh prasangka padaku tentang hubungan diantara kami.

"Gue cuma berharap aja kalo memang lo buat masalah, jangan sampai ngerembet ke tim." Cetus mbak Sava lagi setelah beberapa saat berhenti. Aku tidak menjawab, juga tidak menggeleng. Mata aku fokuskan pada layar komputer meski pikiranku berlarian memikirkan alasan apa yang membuat pak Rey mengutus Sekretarisnya ke sini hanya untuk menyampaikan hal tersebut. jika memang aku membuat masalah yang mana tidak ku ingat sama sekali, bukankah lebih baik meminta Sekretarisnya menelpon ke meja kerjaku?

Aku menghembuskan napas lelah, mengabaikan kedua pasang mata yang aku tahu masih menatapku penuh tanya.

*

"Heh, lo enggak ke ruangannya pak Rey?" Tanya mbak Sava yang mengalihkan pandanganku dari layar komputer padanya yang sudah berdiri dari kursinya.

"Kerjaan aku belum rampung mbak." Dia hanya mengedik bahu tidak peduli lalu keluar.

"Gue duluan yah Nam."

"Iya mas hati-hati." Untuk seminggu kedepan jam kerjaku bertambah, karena Mitha yang mengambil cuti dan aku bilang akan menggantikan pekerjaanya. Mengingat Mitha, apa wanita itu sudah sampai? Sepertinya mungkin sudah. Tadi dia menghubungiku melalui telepon kantor karena aku belum memiliki ponsel baru, dia mengabarkan jika dia mendapatkan pesawat yang berangkat jam tiga sore.

Tidak memiliki benda pipih yang kini menjadi kebutuhan setiap orang, tidak begitu masalah bagiku. Tidak ada yang dapat kuhubungi kecuali Abi.

Yah Abi, aku merindukannya. Sudah berapa lama kami tidak saling mengabari sejak ponselku tidak dapat kugunakan lagi. Dan rasanya aku butuh benda itu untuk menghubungi sahabatku.

Belahan Jiwa (Sudah Jadi Buku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang