Tiga Puluh Empat

39.2K 4.6K 333
                                    

Saya kasih tau yah, kalo cerita ini tuh versi yang mentah banget. Ada ka-kata yang enggak nyambung, kalimat yang sama. Typo apalagi.

Dan, enggak ada POV dari Rey, karena pas revisi nanti POV nya di ganti.

Okelah, hepi ridiiiiing. 😁

***

Apa yang sebenarnya terjadi dengan takdir kehidupanku? Seolah pak Rey saja tidak cukup mempermainkanku, lantas takdir hidupku turut ikut menggodaku.

Bagaimana usahaku bisa berhasil jika orang yang sedang kuusahakan untuk ku lupakan yang tidak seharusnya aku lihat lagi, kini ia hilir mudik di depanku dengan seorang bayi dalam gendongannya.

Aku menghela, duduk selonjoran di atas ranjang, mataku tak dapat lepas mengawasinya. Apa yang ada dalam pikiranya sama sekali tak bisa ku tebak. Sejak setelah aku di pindahkan dari ruang bersalin ke ruang perawatan, tak sepatah katapun keluar dari dalam mulutnya. Dia hanya menatapku dengan tajam dan aku bisa bernapas lega begitu suster datang mendorong troli anakku, perhatiannya langsung teralih.

Bayi yang keluar dari rahimku beberapa jam lalu namun sudah dimonopoli olehnya. Seolah dia sudah menunggu ini semua dan dia klaim sebagai miliknya. Siapapun akan tahu jika dia ayah dari bayi itu, karena keposesifannya. Pak Rey tak pernah melepaskan gendongannya kecuali jika suster datang lagi untuk membawanya kembali dan menaruh anakku dalam box khusus bayi.

Waktu melahirkan tidak tepat seperti yang di prediksi dokter Herman, jelas dokter hanya memperkirakan, dan Tuhan yang menentukannya. Ternyata dia ingin keluar tepat ketika ia merasakan kehadiaran ayahnya, dan aku tidak bisa menyanggah setiap kali berdekatan dengan pak Rey, aku tidak pernah tidak merasa aman, lega dan nyaman. Tentu bayiku yang lebih merasakan itu.

Memoryku memutar kejadian beberapa jam yang lalu ketika menunggu detik-detik kelahiran anakku. Saat itu pak Rey tak hentinya menelpon dokter Tasya, sampai mengcegah perawat yang akan menghubungi salah satu dokter Obgyn yang standby di rumah sakit ini. Hingga aku menyuruhnya untuk berhenti menghubungi bertelepon karena tak enak dengan delikan perawat tersebut. Wajah terpaksanya sangat jelas terlihat begitu aku bilang jika aku sudah tidak kuat lagi dan ingin dokter Herman yang siaga dan siap menanganiku.

Lalu yang paling parah ketika berada di ruang bersalin. Sebenarnya aku heran kenapa pak Rey bisa masuk dan aku meringis begitu mendengar jawaban dokter Herman.

"Gak apa-apa bu kalau suaminya mau ikut, sekalian tahu juga gimana pengorbanan seorang ibu." Yah, jika saja dia memang suamiku.

Dan bisa apa aku yang sedang kesakitan dan bersiap untuk melahirkan kehidupan baru ke dunia ini. Ku kira tidak masalah jika dokter saja tidak melarangnya, namun tak hanya disitu. Pak Rey membuatku malu karena dia sempat membentak dokter Herman.

Sudah setengah jam kala itu kami di ruang bersalin ketika dokter Herman datang. Memeriksaku yang sudah tidak kuat lagi, tapi dokter Herman melarangku untuk tidak mengejan dulu.

"Kalian menyiksanya."

"Itu memang prosesnya Pak." Salah satu perawat bersuara mewakili dokter yang berfokus padaku.

"But look at her."

"Tolong jangan mengganggu proses persalinannya pak. Atau bapak bisa menunggu di luar."

"Enak saja. Dan membiarkan kalian terus menyiksanya tanpa berbuat apapun." Tepat setelah ucapan pak Rey itu, dokter Herman menghitung sampai tiga lalu menyuruhku untuk mengejan.  Aku mengikuti intruksinya, dan semakin lama semakin menyiksa. Tidak kuat lagi, tanganny berpegangan pada lengan pak Rey.

Belahan Jiwa (Sudah Jadi Buku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang