Tujuh Belas

33.8K 3.3K 152
                                    

Terdengar suara rintik sisa hujan lebat beberapa jam lalu. Dan dingin masih terasa menusuk kulit membuatku merapatkan sweater erat-erat.

Jam di dinding memberitahu bahwa malam sudah semakin larut, namun kantuk tak kunjung menghampiriku, berbeda dengan Mitha yang terlihat nyenyak tak lama saat kami rebahan di atas ranjang.

Bagaimana kantuk akan datang, saat pikiranku tersita oleh masalah yang sedang aku hadapi saat ini. Akhirnya aku menyingkap selimut, bangun dan duduk di tepi ranjang.

Berbagai kemungkinan sejak tadi terlintas di kepalaku, memikirkan langkah apa yang mesti ku tapaki selanjutnya.

Kedatangan Danisha di rumah sakit hanya menambah bongkahan batu yang menyesakan dada. Belum lagi tudingannya yang sangat menyakitkan. Mengingat itu tenggorokanku terasa kering, aku keluar dari kamar untuk ergi ke dapur dan menyalakan kompor, memasak air panas.

Menduduki kursi makan berbahan kayu yang hanya tersedia satu pasang sambil menunggu air matang.

Aku masih tidak tahu apa yang harus ku lakukan, haruskah aku berhenti bekerja saja?

Karena bagaimanapun, cepat atau lambat, mengingat aku masih jadi karyawan Haru, aku pasti akan bertemu dengan pak Reynand meski itu tanpa di sengaja.

Ini tidak adil, kenapa harus aku sendiri yang menanggung semua ini?

Meskipun aku punya tabungan yang bisa ku cukup-cukupkan untuk keseharianku selama aku mencari pekerjaan baru. Tapi masalah tak akan selesai sampai disitu, mendapatkan pekerjaan tidak mudah apalagi dengan kondisiku sekarang ini.

Punya pengalaman bekerja tidak menjamin akan mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Seiring dengan tabunganku akan menipis malah bisa-bisa akan habis. Sedangkan aku perlu biaya lebih untuk persiapan persalinanku nanti.

Aku membenamkan kepala di tumpukan lengan yang terkulai di atas meja makan, bingung dan tak buta arah.

Semakin hari aku tak akan bisa lagi menyembunyikannya, dia akan tumbuh dan terlihat. Namun aku tak mau dia menanggung semua kesalahanku.

Suara jaringan air membangunkanku yang ternyata aku tak sadar sudah tertidur.

*

Aku sudah menetapkan pilihan, karena tidak bisa bertindak egois, selagi bertahan, aku harus menabung sampai sekiranya cukup lalu berhenti untuk menyepi di suatu tempat.

Satu lagi yang harus ku perhatikan, sebisa mungkin menghindari pertemuan dengan pak Reynand. Untungnya pak Reynand tak selalu datang ke Haru, dan jika pun ada, kan ruangan kami beda satu lantai, kemungkinan sangat kecil untuk berpas-pasan.

"Gimana liburannya?" Aku tidak sadar jika kubikel yang tadinya kosong sudah diisi mbak Sava lengkap dengan sindiriannya barusan.

Aku tersenyum, sudah terbiasa dengan kalimat pedasnya. "Maaf mbak kemarin saya nggak enak badan."

"Perasaan sering banget kamu gak enak badan?"

"Jangan mulai lagi deh Va, mending lo sarapan dulu deh. Mood lo anjlok banget kalo lagi laper yah."

"Gue udah sarapan!" Terdengar kesal mbak Sava menjawab.

"Yaudah, sekarang kita semua mending kerja."

Dan setelahnya ruangan sangat nyaman jika mbak Sava tidak bersuara lagi, selain keyboard yang saling bersahutan saat mengetik.

Di tengah pekerjaan, ku rasakan perutku sudah lapar. Ku lirik jam, waktu istirahat tinggal 20 menit. Ku usap perutku.

"Kenapa Mi?" Aku kaget, menoleh dan menatap balik Mitha yang melihatku dengan kening berkerut. Segera ku tarik tangan dari atas perut.

"Laper." Jawabku tak menutup-nutupi.

Belahan Jiwa (Sudah Jadi Buku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang