Sembilan

31.8K 2.9K 65
                                    

Ku tatap kantung biru berlogo yang aku pegang. Lalu membukanya dan merogoh isinya, ki tatap benda kecil keras dan panjang. Awalnya tak berniat membeli benda ini, aku mencari obat mag yang kehabisan di rumah, tapi begitu melihat pembalut di etalase, mengingatkanku akan sesuatu. Dan aku baru ingat kalau tamu bulananku tidak pernah datang terlambat, tapi sudah seminggu dari masa periode ku ia belum muncul.

Mag, separah bagaimanapun, tak pernah sampai mual saat mencium aroma makanan.

Berbagai pikiran tak menyenangkan menari-nari di kepala, dengan gejala-gejala yang kurasakan beberapa hari terakhir, kemungkinan bahwa, tidak, aku menggeleng kepala.

Mana mungkin kan? Karena kejadian itu hanya satu kali terjadi, biar pun aku tak ingat, tapi aku yakin satu kali itu kemungkinannya sangat amat kecil.

Baiklah, ini hanya untuk berjaga-jaga saja. Karena aku yakin, aku tidak mungkin berbadan dua.

Terus menerus ku katakan bahwa ini hanya mah, guna menetralisir perasaanku yang campur aduk seiring pandanganku yang melekat pada bungkusan putih yang belum ku buka.

Menarik napas panjang, tangan bergerak mulai merobeknya dan melepaskan rekatan benda itu dari pembungkusnya.

Membolak-balik bungkus yang belum masih ku pegang, membaca keterangan di belakangnya dan cara menggunakan testpack ini.

Ketukan pintu mengagetkanku, hampir saja jantung ku terlepas dari tempatnya, dan benda seukuran kecil tipis terlepas lebih dulu saat tubuhku terlonjak. Kuurut dadaku yang bertalu keras, suara dalam yang ku kenal terdengar setelah ketukan pintu.

"Dayu? Kamu kah di dalam?"

"Iya, ini Nami Bi." Jawabku sambil merunduk kepala mencari test pack di bawah bidet yang ku duduki, memungutnya segera saat ku temukan dan buru-buru memasukannya ke dalam plastik.

Aku berdiri, berdehem lalu membuka pintu toilet. Aku hanya melongokkan kepala, pintu tak terbuka sepenuhnya, menutupi sebagian badan termasuk tangan di balik punggung yang bekerja memasukan kantung tadi ke dalam celana dan menutupinya dengan atasan.

"Mulih Yu?" Tak heran bik Devi aku sudah pulang, ini memang masih sangat awal karena biasanya aku tidak pernah pulang jam segini.

Merapikan pakaian dengan menyentuhnya seolah dia kusut, kemudian ku buka pintu leber-lebar dan keluar dari balik pintu. "Iya bik, Nami pulang awal, enggak enak badan." Raut bik Devi seketika berubah, keningnya mengerut, ia maju dan menaruh telapak tangannya di keningku.

"Keningmu panas Dayu," katanya khawatir. "Segeralah ke dokter."

Tapi aku menggeleng, dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja hanya untuk menenangkan bik Devi.

"Itu terus yang kamu bilang, tapi lihat sekarang makin parah." Aku tersenyum mendengar nadanya yang seolah memarahiki.

"Iya nanti Nami ke dokter, tapi nanti. Sekarang Nami pengen istirahat." Untung saja ada panggilan dari rumah utama hingga bik Devi harus kembali lagi kesana dan akhirnya keluar meninggalkanku.

Setelah tubuh bik Devi menghilang di balik pintu, aku kembali ke kamar mandi, menguncinya dua kali dan mengeluarkan kantung itu di balik baju.

***

Menekuk lutut dan mendekapnya di dada, aku tak bergerak dari posisi ini mungkin sudah lebih dati 30 menit yang lalu.

Pikiranku melayang tak tentu, perasaanku campur aduk, pandanganku kabur, aku mengerjap sebelum ada yang keluar dari mataku.

"Ya Tuhan." Rasanya panggilan itu sudah lama sekali tidak ku serukan, aku bahkan lupa kapan terakhir kalinya menyebut namanya. Menenggelamkan kepala pada posisi yang sama, suaraku terendam saat aku bicara. "Apa yang harus aku lakukan?"

Belahan Jiwa (Sudah Jadi Buku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang