Dua Puluh Tujuh

34.1K 3.6K 407
                                    

"Kak Damar?" Lelaki yang kini menjulang di depan mataku setelah setengah berlari mencapaiku memberi tatapan tidak seperti biasanya. Air mukanya datar dan suaranya yang keluar terkesan dingin.

"Aku telepon kamu berulang kali tapi Hp kamu gak aktif."

"Handphone Nami rusak dan mati kak." Aku terkejut dengan kedatangannya yang sangat tiba-tiba. Tapi tetap tersenyum lebar melihatnya setelah beberapa waktu aku kehilangan gambaran wajah itu.

"Ada sesuatu yang perlu kamu jelaskan Nam." Katanya lagi masih datar.

"Penjelasan apa?"

"Kamu ikut kakak."

"Kemana?"

"Hal yang perlu kita bicarakan dan itu bukan disini." Dia menekankan.

"Maaf kak tapi Nami belum bisa keluar kecuali kak Damar mau menunggu."

"Bukan sesuatu yang bisa ku tunggu." Katanya gusar.

"Namira tidak akan pergi kemana-mana." Memiringkan kepala untuk melihat sumber suara di belakang kak Damar.

Aku mengernyit melihat sosok pak Rey yang berjalan ke arah kami. Kenapa pak Rey masih disini?

Dan tunggu dulu, mataku terpaku melihat sudut mata sebelah kanan pak Reynand. Terakhir aku melihatnya wajahnya baik-baik saja, kapan dan dari mana dia mendapatkan warna biru itu di sudut matanya?

"Jangan sok ngatur, elo memang bosnya, tapi bukan berarti bisa ngatur Namira." Ucapan kak Damar fokusku, aku melihatnya lagi yang kini sudah berbalik badan dan berhadapan dengan pak Rey.

"Ini masih jam kantor." Balas pak Rey lagi.

"Dan gue gak peduli. Ayo Nam ikut aku." Tidak ada kelembutan sama sekali yang kurasakan saat kak Damar menarikku.

Meringis karena cengkaramanya, kak Damar bahkan tak peduli aku sudah payah berjalan terseok mengikutinya.

Tapi tiba-tiba tarikan dari arah berlawanan menghentikanku.

"Lepasin tangan lo dari Nami." Suara yang di keluarkan kak Damar seolah mengancam.

"Dia gak akan kemana-mana."

Aku menelan ludah, berdiri di tengah-tengah kedua pria ini dengan kedua tangan terlentang.

"Jadi pukulan gue tadi belum cukup?"  Aku cukup terkejut mendengar hal ini dan menatap wajah kak Damar.

"Kak Damar pukul pak Rey?"

"Aku lebih suka bunuh dia kalau saja Danisha gak menghalangiku." Aku menggeleng tidak percaya. Lelaki yang ku kenal lembut dan penyayang seakan hilang seiringin ucapannya bernada arogan yang keluar dari mulutnya barusan. "Dan lo. Lebih baik jangan deket-deket Nami lagi. Ayo Nam."

"Akh." Teriakku penuh dengan kesakitan karena tarikan pada pergelangan kananku oleh kak Damar tanpa melihat kondisi, sedangkan pak Rey tidak melepaskan pergelangan tanganku yang satunya lagi.

"Lo menyakiti Namira."

"Jika saja elo gak keras kepala nahan tangannya. Sekarang lepasin." Aku menatap mereka berdua silih berganti sambil meringis perih karena kedua pergalangan tanganku yang di cengkram dua telapak tangan besar oleh kedua lelaki ini.

"Atau kalian berdua yang lepaskan." Mitha rupanya tahu jika aku tidak kuasa menengahi dan dia sepertinya terpaksa ikut terlibat.

"Apa kalian sedang berlomba siapa yang lebih unggul meretakan pergelangan tangan sahabat saya?" Ucapan sarkas wanita itu membuat kedua cengkraman di masing-masing pergelanganku mengendur. Jika kak Damar langsung menarik tangannya, beda halnya dengan pak Rey tidak melepaskannya sama sekali namun tidak seerat tadi.

Belahan Jiwa (Sudah Jadi Buku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang