Dua Puluh Tiga -Reynand-

33.4K 3.3K 139
                                    

Sambil nunggu Park Il Do muncul, yang kebetulan idenya juga muncul. Aku update.

Hepi reading.

***

Apa yang ada dalam kepala wanita itu?

Dengan alasan cari makan setelah sebelumnya menolak ajakanku? Apa dia bercanda?

Tidak tahukah dia, akan banyak bahaya keluar di tengah malam buta sendirian?

Apa dia bahkan tidak memikirkan kandungannya? Anakku yang ada dalam perutnya?

Jika saja aku tidak segera kembali setelah membeli makan dan melihatnya berjalan menjauhi kontrakan, atau jika saja aku tidak mengikutinya dari belakang.

Mataku langsung siaga ketika seorang lelaki melihat Namira melewatinya, lalu mengikuti wanita itu dari belakang. Ku percepat langkah ketika ternyata dugaanku benar jika lelaki itu berniat jahat. Tanganku mengepal tatkala mataku terbeliak melihat Namira terjatuh dan ia mengaduh.

Dadaku bergemuruh, ingatan akan tamparan tante Dewi yang membuatnya seketika pingsan berkolebat di kepalaku.

Dengan kasar aku menyentuh pundak lelaki yang memunggungiku. Tidak berpikir panjang untuk melayangkan kepalan tanganku yang sudah mengeras ke bagian rahangnya. Lelaki itu langsung terkapar, dan aku tidak menunggunya bangkit untuk melawanku. Jika saja tidak teringat Namira yang lebih membutuhkanku meski aku masih ingin memberikan pelajaran pada berandalan sialan itu lebih banyak lagi dengan buku-buku jariku. Aku memejamkan mata seraya menarik napas dalam, mengingat tangisan ketakutan wanita itu semalam.

Kesalku belum hilang pada Nmira bahkan setelah aku membawanya ke Apartemen, aku tidak tahu harus melampiaskananya seperti apa pada wanita itu. Akan tetapi begitu melihatnya meringis seperti kesakitan dan berkata jika ia belum makan, membuat kekesalanku menguap. Apalagi ketika melihat dia makan dengan lahap kala itu.

Selain itu, bayangan percakapan ku dengan Tasya semalam cukup mendominasi pikiranku saat ini. Wanita yang berprofesi sebagai dokter kandungan itu temanku sewaktu sekolah menengah yang kebetulan kami tinggal di gedung Apartement yang sama denganku.

Kami kembali berhubungan beberapa bulan lalu ketika tidak sengaja bertemu di lift, dia bersama suaminya yang ku tahu juga seorang dokter. Tasya langsung meghujamku dengan tatapan curiga dan prasangka begitu ia tahu untuk apa dirinya di panggil serta menemukan seorang wanita hamil, dan aku hanya bisa menjawab apa adanya. Bahkan ketika ia bertanya siapa Namira.

Jawaban itu tercetus begitu saja. Aku tidak salah bukan? dia memang ibu dari anakku. Hanya saja, perasaan aneh  merayap di dadaku, seolah kalimat itu bukan hanya kata-kata saja.

"Seharusnya aku tahu kalau kamu sudah beristeri Rey. Kecuali kamu mendepakku dari daftar undangan." Tasya sendiri tidak tahu jika aku pernah bertunangan dengan Danisha, karena di acara itu aku tidak mengundang siapapun. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali kedua keluarga kami dan karyawan Haru.

"Kami memang belum menikah Ta."

"Kenapa bisa ke bobolan Rey?" Kepalanya menggeleng seraya berdecak. "Apa kalian berniat menikah?"

Menikah? Satu hal yang tidak pernah hinggap dalam pikiranku ketika melontarkan sebuah bertanggung jawab. Dan pertanyaannya yang satu ini membuatku terdiam.

"Kuharap begitu, kalian tentunya harus menikah jika memikirkan masa depan anak kalian. Aku tidak akan meragukan kalo kamu orang yang bertanggung jawab Rey."

Aku masih terpukur bahkan hingga saat ini karena ucapan Tasya semalam. Aku tersanjung karena Tasya tidak meragukanku, tentu saja mana mungkin aku lari dari perbuatanku yang mana sudah ada hasilnya. Tapi menikahi Namira?

Belahan Jiwa (Sudah Jadi Buku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang