Hyung ... Tolong, jangan seperti ini ...
Hati Jungkook mencelos kali ini, melihat orang yang disayangi, orang yang selalu membantunya kala senang maupun sedih, orang yang selalu memberi arah kala ia tersesat, orang yang menjadi satu-satunya keluarga, tengah diambang kematian.
Ingatan itu, entah mengapa, tanpa kemauan Jungkook kini mengalir deras di pikirannya. Membuat si pemuda teringat akan kenangan pahit yang dialami. Kenangan saat di mana ia mengalami gejolak permasalahan hidup yang pelik, kenangan di mana pula Jungkook merasakan apa arti kehidupan sebenarnya lewat uluran tangan Seokjin.
Flashback on.
Musim panas sangatlah menyiksa. Bagaimana tidak? Aroma matahari yang menyengat belum lagi udara yang kering membuat siapapun tak betah berkegiatan di luar berlama-lama.
Tak terkecuali bagi Jeon Jungkook, kini ia tengah mengipasi dirinya di halaman rumah, terduduk di kursi kayu ek dengan memakai kaus oranye pendek juga celana hitam yang sama ukurannya. Tak lupa, segelas air jeruk yang telah ditambahkan beberapa balok es beku begitu meluncur dengan bebas di kerongkongannya.
Desing mesin pemotong rumput dan bunyi beberapa serangga pun menghiasi siang di hari musim panas keenam ini, tuan Jeon sengaja memotong rumput yang tengah tumbuh semakin meliar di pekarangan kediamannya, sesekali sang ayah meminta pemuda berumur sepuluh tahun—sang anak. 'Tuk membantu, meski hanya sekadar mengambilkan alat ini-itu.
Malas.
Adalah rasa yang tengah Jungkook rasakan kini, ia melangkah lunglai ketika ayahnya meminta tolong untuk mengambilkan sapu taman yang jaraknya berada di ujung sudut tembok dari halaman rumah, lumayan jauh dari tempat yang ia sukai.
Uhh ... A-Apa itu?
Ucap Jungkook terheran setelah mendongakkan kepala melewati tembok pembatas pekarangannya—yang sebatas dagu Jungkook—dengan tetangga, melihat seorang anak sedang bermain sendirian di pekarangan rumahnya.
Seumuran denganku ya? Tapi ... baru lihat.
Harusnya, si anak sebrang lah yang berbicara seperti itu, karena seantero komplek pun tahu bahwa Jeon Jungkook lah yang tak pernah menampakkan batang hidungnya di luar pagar rumah.
Pindahan? Atau ... Sudah lama tinggal disini?
Tanpa sepengetahuan Jungkook, anak itu kini menoleh, merasa ada kehadiran sesosok orang asing yang tengah memata-matainya. Dengan sukses ia membuat jantung Jungkook hampir meloncat keluar.
"Hei! Kau! Penguntit! Keluarlah atau aku akan membunuhmu dengan pisau ini!"
Ia ketahuan, tengah bersembunyi dibalik tembok itu tatkala netra anak yang ia lihat itu tiba-tiba mendelik padanya.
Oh ... Tidak, aku memiliki tetangga gila!
Nyali Jungkook kini menciut.
Namun, bukanlah pengulangan kata ataupun ancaman. Jungkook mendengar tawa puas dibalik tembok itu. Kemudian ia berbicara, "Tenanglah kau sangat ketakutan, aku tak akan membunuhmu ... Mana mungkin aku membawa sebuah pisau sementara nenekku tak membiarkanku menyentuh dapur sekali pun." Tutur si anak yang meneguhkan hati Jungkook untuk melihat rupa-nya.
"Hei ... Aku belum pernah melihatmu ...." Ia memiringkan kepala ke arah kanan, terheran melihat kenampakan wajah Jungkook yang baru pertamakali ia lihat.
Jungkook diam, ia tak percaya begitu saja dengan omongan sang lawan bicara.
"Kita pasti seumuran kan? Ayo bermain!" Kini, anak itu mencoba merayunya, merayu Jungkook dengan senyum termanis yang mengembang.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Bold From The Blue
Fanfiction[LENGKAP] Mereka terjebak. Di antara reruntuhan bangunan dengan udara yang kering nan gelap. Bertahan? Oh ... Mereka bisa. Namun, kala malapetaka beruntun itu datang .... Mereka hampir menyerah. Seokjin ingin selamat. Ah ... Tidak. Lebih tepatnya, S...