«—»
Jam sudah menunjuk pukul 4 sore, namun si gadis berkimono belum juga sadarkan diri. Ada bekas darah yang cukup besar di bagian dada dan punggung kimononya. Ada luka sayatan di lengan bagian atasnya, juga luka-luka yang lebih kecil di kakinya, luka setelah berjalan tanpa sepatunya.
"Masih belum bangun?" tanya Jiyong yang baru saja datang ke ruang kesehatan dalam campnya. Pagi tadi Jiyong yang kasihan melihat seorang gadis pingsan dengan banyak darah di depannya membawa gadis itu menuruni bukit menuju camp Militernya.
"Belum, tapi dia terus mengigau, memanggil namamu, Kwon Jiyong. Sebenarnya siapa gadis ini?"
"Ne? Memanggil namaku? Aku tidak merasa pernah mengenalnya," ujarnya pada seorang dokter 26 tahun yang juga sedang melakukan Wajib Militernya di ruang kesehatan camp White Skull.
"Mungkin seorang fansmu?"
"Entahlah, aku tidak ingat pernah melihatnya. Tapi kenapa dia memakai kimono? Apa ada pemukiman warga Jepang di sekitar sini?"
Ditengah obrolan itu, Jiyong kembali terkejut setengah mati karena lagi-lagi secara tiba-tiba si gadis berkimono memegang kakinya. Wajahnya yang punya beberapa luka goresan terlihat ketakutan.
"Hei, kau sudah bangun??" ucap Jiyong sembari menyentuh bahu si gadis berkimono. Gadis itu mengangguk, duduk di atas ranjang ruang kesehatan, ia mengamati Jiyong lekat-lekat. Wajah takutnya perlahan-lahan berubah menjadi wajah terkejut yang punya sedikit rasa syukur. Tangannya yang sudah di bersihkan dari tanah dan darah terulur untuk menyentuh wajah Jiyong, namun Jiyong menepisnya. Tentu saja terkejut karena gadis itu tiba-tiba menyentuh dagunya dan menolehkan wajahnya seakan sedang mencari sesuatu di pipi kanan dan kiri Jiyong.
"Keluarlah, aku akan memeriksanya," suruh Dokter Kim Taeyong yang kemudian meraih tangan si gadis itu. "Apa kepalamu sakit?" tanya dokter itu sementara Jiyong melangkah mundur dengan wajah bingung.
«—»
Lalisa berlari masuk ke dalam hutan. Berlari diatas tanah yang keras setelah menghilangkan sepatunya di jalan setapak. Kakinya menginjak ranting dan dedanuan kering, tangannya menepis berbagai ranting dan semak yang menghalanginya. Nafasnya tersengal, pakaiannya basah karena keringat dan beberapa tetes darah yang keluar dari luka goresan ranting.
"Berhenti disana pelacur sialan!" teriak salah seorang pria yang mengejarnya. Pria itu berlari dengan pakaian khas Joseonnya, tangannya meremas sebuah pedang yang kemudian diayunkannya. Berfikir ayunan pedangnya itu dapat melukai si gadis bisu yang terus berlari dengan sisa-sisa tenaganya. Ayunan itu mengenai si gadis, tepat di lengan kirinya.
Dengan lengan kiri yang tersayat ujung pedang, Lisa tidak berhenti berlari. Tangan kanannya terulur untuk menekan luka di lengannya, namun tidak lama setelah itu, suara senapan yang memekanan telinga menghentikan detak jantungnya.
Lisa terus berlari, sama sekali tidak punya waktu untuk menoleh dan melihat siapa yang tertembak. Terus berlari sampai ia menemukan seorang pria berseragam militer. Mungkin itu tentara Jepang, mungkin itu tentara Amerika, pikirnya. Jadi dengan sisa tenaganya, ia berlari menghampiri tentara itu dan jatuh pingsan tepat di depannya.
Samar-samar Lisa yang mulai sadar dari pingsannya mendengar suara pria yang sangat dikenalnya. Nada bicaranya berbeda, nada bicaranya jauh lebih lembut dan hangat dibanding biasanya, namun Lisa mengenali suaranya dengan sangat jelas. Perlahan-lahan gadis itu membuka matanya dan melihat sebuah ruangan terang. Ruangan itu mirip dengan rumah sakit militer milik Legasi Jepang, namun jauh lebih terang. Lisa tidak ingat sejak kapan lampu-lampu mulai bercahaya seterang itu, namun perlahan-lahan matanya mulai bisa menyesuaikan diri.
Matanya terbuka, dan matanya menangkap dua orang pria yang berdiri disebelahnya. Seorang pria dengan rambut yang dipotong sangat pendek dan jubah putih mirip seorang Dokter. Kemudian pria lainnya, terlihat sama persis dengan Kwon Jiyong yang sejak beberapa jam lalu di khawatirkannya. Pria yang seharusnya berada di ruang introgasi milik pemerintah Joseon kini berdiri di dekatnya, dengan gaya yang sangat berbeda. Rambutnya yang sebelumnya panjang dan terikat layaknya seorang ahli pedang biasa, kini di potong sangat pendek. Kain sutra mahal yang biasanya membalut tubuhnya, kini berganti menjadi pakaian gaya barat yang simple dan nyaman. Dua buah pedang super tajam dan tipis yang mampu menembus sela diantara tulang rusuk tidak berada di pinggangnya.
Satu hal yang paling tidak Lisa percaya adalah tidak adanya satupun luka yang terlihat. Lisa sangat tahu kalau orang-orang yang menangkap bosnya itu punya dendam yang sangat besar. Tidak mungkin mereka tidak melukai bosnya di ruang introgasi. Tidak mungkin mereka menyia-nyiakan kesempatan seperti itu— melukai si ahli pedang yang tidak punya kuasa untuk membalas.
"Kau sudah bangun?" tanya lembut pria itu ketika mata mereka bertemu. Suaranya benar-benar terdengar seperti suara bos yang sangat di kenalnya, namun nada biacaranya jauh berbeda. Si bos kasar yang selalu terdengar dingin kini terdengar sangat hangat dan lembut. Lisa ingin mengatakan sesuatu, namun ia tidak melihat kertas dan alat tulis yang dapat di raihnya. Barang-barangnya pun tidak ada disana— ah mungkin terjatuh ketika ia berlari tadi.
Tidak peduli dengan berbagai kejanggalan yang muncul dalam kepalanya, Lisa bersyukur, karena melihat bosnya baik-baik saja. Masih sedikit ragu, gadis itu menyentuh dagu pria di hadapannya, mendorong pipi pria itu kekanan untuk melihat sisi kiri wajahnya— memastikan tidak ada luka di sisi kanan dan kiri wajah bosnya. Ingin rasanya ia bertanya apa saja yang sudah terjadi di ruang introgasi namun ia tidak menemukan apapun yang bisa dipakai untuk menulis disana.
Seorang pria berpakaian putih kemudian menyuruh pria satunya untuk keluar. Si pria berpakaian dokter menyuruh Jiyong untuk keluar.
"Apa kepalamu sakit?" tanya si pria berjubah putih itu. Lisa menoleh untuk menatapnya, rambutnya lebih pendek dari Jiyong, rambutnya hampir botak seperti seorang prajurit Jepang namun wajahnya terlihat seperti wajah bangsawan Joseon, bersih dan putih seperti porselen.
Lisa menggeleng, kemudian mengamati tubuhnya sendiri. Melihat bagian dada dari kimononya yang terasa kaku karena darah kering disana. Kemudian melihat satu lengan kimononya yang di potong sebatas lengan, luka sayatan akibat pedang seorang Joseon itu sudah dibalut sebuah perban putih yang halus. Perbannya pasti mahal, pikir Lisa yang biasanya hanya melihat kain-kain putih kekuningan untuk membalut luka.
"Aku sudah mengobati luka-luka mu, tapi kau bisa memberitahuku kalau masih ada yang perlu ku obati," ucapnya lembut. Pagi tadi dokter itu ingin mengganti pakaian Lisa yang kotor, namun ia mengurungkan niatnya setelah memastikan tidak ada luka apapun di dadanya. "Siapa namamu?"
"Aku tidak bisa bicara," ucap Lisa tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Gadis itu hanya menggerakan bibirnya tanpa membuat suara apapun.
"Ne? Apa katamu? Apa kau tidak bisa bahasa Korea?" tanya si dokter sekali lagi. Sama sekali tidak membuat Lisa terkejut. Sudah bertahun-tahun sejak ia menenggak racun itu dan kehilangan suaranya.
"Aku tidak- aku bisa bicara?" ucap Lisa, yang kemudian menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Rasanya sangat aneh mendengar suaranya sendiri. Ia hanya ingin mengulang ucapannya tadi dengan gerak bibir yang lebih lambat, namun suaranya justru keluar.
"Ne?"
"Apa ini benar-benar suaraku? Apa aku benar-benar bisa bicara sekarang?" ucap Lisa, masih sangat terkejut dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Bagaimana bisa suara keluar setelah bertahun-tahun hilang? Semua yang terjadi benar-benar mengejutkan. Bosnya yang tertangkap, seorang Joseon yang memburunya, suara ayunan pedang, suara ledakan senapan, cahaya yang lebih terang dari biasanya, dan bosnya yang muncul dengan penampilan berbeda serta mendengar suaranya sendiri membuat Lisa benar-benar terkejut.
«—»
Bagaimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cardiac Arrest
FanfictionApa yang terjadi ketika jantungmu berhenti? Mati? Ku harap milikku juga begitu.