7

1K 195 3
                                    

«—»

Lisa sedang duduk di lantai beralas karpet ruang tengah ketika Jiyong membuka pintu depan setelah kembali dari mengantar kedua orangtuanya.

"Sedang meramal? Siapa yang kau ramal?" tanya Jiyong yang kemudian duduk di hadapan Lisa, bersebrangan dengan sebuah meja kaca diantara mereka. "Ku pikir kau sudah tidur,"

"Anda,"

"Aku?"

"Ne,"

"Apa ramalanku?"

"Anda akan bertemu dengan takdir anda sebentar lagi, sebuah takdir yang indah namun tidak mudah,"

"Semua yang indah memang selalu sulit, kurasa itu bukan ramalan, maaf aku tidak mempercayai ramalan apapun. Tapi kalau kau memang menyukainya, kau tidak perlu mempedulikanku,"

"Ne," jawab Lisa sembari tersenyum. "Bahkan di Joseon tidak semua orang mempercayai ramalanku. Sebagian orang tidak sudi di ramal dan sebagian lainnya rela membayar sangat mahal hanya untuk beberapa kata yang ku tulis,"

"Apa di Joseon semua bar memperkerjakan peramal?" tanya Jiyong dan Lisa menggeleng sembari merapihkan kembali kartu-kartunya. "Jadi? Kau pasti punya banyak pelanggan, kau tidak punya saingan," lanjut Jiyong yang kemudian menumpu dagunya dengan sebelah tangan.

"Tidak," jawab Lisa, sangat lembut, seakan ia tidak punya tenaga untuk menjawabnya. "Kalau pekerjaan itu menghasilkan banyak uang, pasti akan ada banyak orang yang ingin jadi peramal. Lagi pula, siapa yang akan mempercayai seorang wanita di bar? Orang-orang lebih mempercayai ucapan cenayang yang tinggal di tempat terpencil, mereka selalu pergi kesana untuk ilmu hitam, memanggil roh, atau meminta perlindungan dewa, dan datang padaku ketika tidak ada lagi yang bisa diajak bicara, ketika tidak ada lagi yang mau mendengarkan mereka,"

"Ah... jadi pekerjaanmu hanya mendengarkan cerita mereka lalu memberi saran? Pekerjaan itu juga ada sampai sekarang, tapi tidak lagi disebut peramal. Pekerjaan itu di sebut psikiater, konselor atau psikolog, tugas mereka juga mendengarkan cerita orang lain dan memberi beberapa saran. Tahun ini, pekerjaan itu paling banyak dicari,"

"Begitukah? Syukurlah kalau begitu," jawab Lisa sembari tersenyum.

"Tapi... kenapa kau sangat pendiam? Bukankah seharusnya kau banyak bicara? Agar orang yang bercerita padamu merasa kau mendengarkan mereka? Bicara sendiri tidak benar-benar menyenangkan,"

"Sudah bertahun-tahun aku berhenti bicara, dan sekarang... aku sangat senang karena bisa bicara, tapi aku tidak benar-benar tahu apa yang harus ku katakan... maaf kalau aku membuatmu tidak nyaman," jawab Lisa tanpa menatap Jiyong, terus menatap setiap lembar kartu yang ada ditangannya.

Mendengarkan pria di hadapannya sembari bermain dengan kartunya membuat Lisa merindukan sang ahli pedang dingin yang selalu mengajaknya bicara.

"Boleh aku tahu kenapa kau berhenti bicara? Apa itu sebuah hukuman atau semacamnya? Yang melarangmu bicara,"

"Aku kehilangan suaraku beberapa tahun lalu. Ada sebuah perkelahian besar yang membuatku kehilangan suaraku,"

"Jadi... bukannya tidak ingin bicara, tapi kau tidak bisa bicara? Astaga... aku ikut sedih mendengarnya, maaf aku tidak seharusnya mengungkit masalah itu. Kau sudah sembuh sekarang, jadi jangan khawatir,"

"Tidak apa, aku memang tidak bisa bicara, tapi karena itu aku bertemu dengannya,"

"Dengannya? Siapa? Tunggu, berapa usiamu? Bukankah di Joseon gadis-gadis kecil sudah banyak yang di nikahkan?"

"26 musim dingin, 26 tahun," jawab Lisa yang kemudian menaruh kembali kartunya dan ikut menumpu dagunya dengan lengannya, seperti Jiyong. "Aku tidak bisa menikah-"

"Kenapa?? Karena suaramu?"

"Di masa tempatku tumbuh, seorang budak- maksudku pelayan, tidak bisa menikah tanpa izin dari tuannya,"

"Huh? Tapi tuannya menikah, bukankah itu tidak adil?"

"Hidup selalu tidak adil tuan- ng... maksudku oppa," jawab Lisa yang kemudian bangkit dari duduknya dan melihat sekeliling rumah mewah itu. Bagi Lisa tempat itu jauh lebih mewah dari Glory Hotel namun ia tidak merasa nyaman tinggal disana, ia merasa tidak aman... berada disana. "Aku sudah berkeliling rumah ini, rumah yang bagus dan sangat tinggi, pemandangan di luar benar-benar luar biasa... aku tidak tahu kalau Joseon akan berubah sebanyak ini," ucap Lisa sembari menunjuk balkon yang dibatasi sebuah pintu kaca dengan tirai abu-abu. "Nyonya- maksudku eommamu memintaku untuk memasak sarapan untukmu besok pagi, tapi aku belum menemukan tungku dan dapurnya,"

"Aku punya dapur, tapi tidak ada tungku di dapurku. Kau mungkin akan merasa kurang nyaman untuk memasak disana, besok aku akan menunjukan dapurnya dan besok aku yang akan membuat sarapan. Ah sudah hampir tengah malam, beristirahatlah," ucap Jiyong sembari ikut bangkit dari duduknya. "Tidurlah di kamarmu, aku juga lelah dan akan pergi tidur sekarang, sampai bertemu besok pagi,"

Tiba saatnya untuk membuat sarapan. Jiyong bilang dia akan membuatkan sarapan untuk mereka namun sampai di pukul 8 pagi, pria itu belum juga keluar dari kamarnya. Belum juga bangun.

Lisa melangkah keluar dari kamarnya dengan sebuah gaun panjang berwarna merah muda yang jatuh sampai ke mata kakinya. Kembali melihat-lihat isi rumah itu kemudian membuka lemari es di dapur. Lemari es di rumah Jiyong sangat jauh berbeda dari lemari es yang pernah ia lihat di rumahnya. Lemari esnya sangat besar dan dingin, jauh lebih dingin dari lemari es yang ada di bar tempatnya bekerja. Terlihat sangat mahal. Di rumahnya, tidak semua tempat mempunyai lemari pendingin, lemari pendingin hanya dapat ia lihat di sebuah toko roti khas Prancis, Glory Hotel dan bar milik bosnya. Tapi Jiyong punya lemari es di rumahnya, jadi Lisa pikir Jiyong pasti sangat kaya. Mungkin jauh lebih kaya dari tunangan nona Sandara— seorang pemuda dari keluarga paling kaya di Joseon.

"Astaga, maaf aku terlambat bangun," ucap Jiyong yang baru saja keluar dari kamarnya dan bergegas menuju dapur dengan pakaian yang tidak terlihat seperti seorang yang bangun tidur. Jiyong tahu ia terlambat bangun, tapi masih menyempatkan dirinya untuk mandi agar tidak terlihat jelek di hadapan si gadis dari masa lalu.

"Ne, selamat pagi," jawab Lisa sembari tersenyum dan menuangkan segelas air mineral untuk Jiyong.

"Kau pasti sudah lapar, bagaimana kalau kita sarapan di restoran saja? Ada restoran di gedung ini,"

"Ya, baiklah,"

"Ayo kita pergi kalau begitu?" ajak Jiyong setelah menenggak habis air yang Lisa berikan.

Keduanya berjalan menuju restoran yang Jiyong maksud. Lisa berjalan di sebelah Jiyong sementara Jiyong sibuk dengan isi kepalanya sendiri— ia ingin meraih lengan Lisa agar mereka bisa berjalan sedikit lebih cepat tapi takut dianggap tidak sopan karenanya. Jiyong ingin menyentuh kulit putih si gadis ratusan tahun itu tapi takut membuat si gadis merasa tidak nyaman.

"Rumahmu seperti hotel," ucap Lisa setelah mereka berada di dalam lift. "Tapi tidak ada ruangan ajaib ini di Glory Hotel,"

"Glory Hotel adalah penginapan bergaya Barat pertama yang ada di Joseon, iya kan? Sampai saat ini Hotel itu masih ada, aku akan mengajakmu kesana lain kali,"

"Terimakasih," jawab Lisa yang selalu membuat Jiyong harus memikirkan topik pembicaraan lainnya. Gadis itu selalu menutup pembicaraan mereka setiap kali ia mengatakan sesuatu. Kalau wajahnya tidak luar biasa cantik, Jiyong pasti sudah mem-blacklistnya. "Tapi... apa anda- oppa tahu siapa pemilik Hotel itu?"

"Entahlah, yang ku dengar, hotel itu di dirikan oleh seorang wanita Jepang,"

"Namanya Kiko?"

"Ng... kurasa? Nanti aku akan mencaritahunya, aku hanya tahu sebuah cerita menyedihkan di hotel itu. Katanya, wanita pemilik hotel itu jatuh cinta pada seorang tentara Amerika, tapi si tentara menyukak gadis lain sampai akhirnya wanita itu menikah dengan seorang anggota Black Dragon- kurasa itu seperti sebuah gangster? Entahlah, mungkin kau yang lebih tahu,"

"Black Dragon? Aku bekerja di Black Dragon, dan kurasa aku tahu siapa yang akhirnya di nikahi nona Kiko," ucap Lisa sembari diam-diam mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Jadi pada akhirnya hanya aku yang akan di tinggalkan sendirian? pikirnya sebelum pintu lift di hadapannya terbuka.

«—»

Cardiac ArrestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang